Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/2). Agenda sidang perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 adalah perbaikan permohonan.
Dr. Judilherry Justam, dr. Nurdadi Saleh, dan dr. Pradana Soewondo selaku pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon pun menguji Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Kuasa Hukum Pemohon Vivi Yunita menegaskan pemohon telah memperbaiki legal standing-nya sebagai perseorangan WNI yang merupakan dosen dan/atau guru besar pada Fakultas Kedokteran, dokter praktik, dan dokter spesialis praktik. Kesemuanya memiliki kepedulian dalam mewujudkan terbangunnya etika berorganisasi dan keinginan terciptanya tata kelola yang baik dalam organisasi profesi.
“Para Pemohon memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur, dijamin, dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 28C ayat (2), 28D ayat (1), dan 28E ayat (3),” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Lebih lanjut, ujar Vivi, Pemohon berkepentingan terhadap adanya jaminan kepastian hukum terkait dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Misal, terhadap pelaksanaan uji kompetensi, penetapan standar nasional pendidikan kedokteran, serta kepastian hukum terkait badan atau lembaga yang berwenang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran. “Ini adalah perwujudan upaya seorang warga negara baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya melalui penegakan nilai-nilai konstitusionalisme,” tegasnya.
Pada sidang sebelumnya, pemohon menilai kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut, menurut pemohon, dapat menciptakan perilaku yang sewenang-wenang, bahkan tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Apalagi sekarang tidak ada mekanisme kontrol/pengawas internal organisasi yang efektif,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, setiap lulusan Fakultas Kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter). Sehingga, menurutnya, tidak diperlukan lagi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Kolegium Dokter Indonesia jelas tidak memenuhi ketentuan dalam perundang-undangan, sehingga tidak layak dan tidak punya landasan hukum untuk menyelenggarakan uji kompetensi,” imbuhnya.
Pemohon pun mengutip Putusan Mahkamah Nomor 122/PUU-XII/2014 tertanggal 7 Desember 2015 telah yang menolak permohonan PDUI (Perhimpunan Dokter Umum Indonesia) dengan menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Dokter tidak memiliki kekuatan mengikat. Sehingga, demi hukum tidak dibenarkan bagi kolegium yang dibentuk IDI untuk menyelenggarakan uji kompetensi terhadap lulusan Fakultas Kedokteran.
(ars/lul)