Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Putusan tersebut menyatakan hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dapat diangkat kembali lebih dari satu kali tiap lima tahun.
“Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi para hakim konstitusi lainnya, Selasa (21/2) siang di ruang sidang pleno MK.
Pemohon menguji ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI yang menyatakan:
“Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai “Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.”
Kedudukan hakim ad hoc pada PHI, seperti hakim ad hoc pada pengadilan khusus lainnya, adalah sebagai hakim anggota dalam susunan majelis hakim yang memiliki tugas memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara hubungan industrial. Susunan majelis hakim yang memeriksa perkara hubungan industrial komposisinya selalu hakim karier sebagai ketua majelis dan dua orang hakim ad hoc sebagai hakim anggota. Hakim anggota tersebut terdiri dari satu hakim ad-hoc dari unsur serikat pekerja/serikat buruh dan satu hakim ad-hoc dari unsur organisasi pengusaha.
Keberadaan hakim ad-hoc pada PHI yang merupakan representasi dari lembaga pengusul membuat proses perekrutannya melibatkan masing-masing lembaga pengusul tersebut. Sehingga untuk pengusulan kembali hakim ad-hoc PHI yang telah habis masa jabatannya harus mendapatkan persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul.
Hal tersebut sejalan dengan Putusan MK No. 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013 yang menyatakan, “…sehingga Hakim Ad Hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya Hakim Ad Hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya”.
Kemudian dalam Putusan MK No. 32/PUU-XII/2014 bertanggal 20 April 2015 menegaskan, “....bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus.... Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya.”
Menurut Mahkamah, pengusulan kembali hakim ad hoc PHI yang telah habis masa jabatannya, baik yang pertama maupun yang kedua, tidak menyimpang dari semangat putusan Mahkamah tersebut, terlebih terhadap hakim ad-hoc PHI yang telah menjalankan tugas selama dua periode dan telah mempunyai kompetensi, kapasitas, profesionalisme yang telah teruji.
Namun, Mahkamah menegaskan pengusulan kembali calon hakim ad hoc PHI yang pernah menjabat tidak boleh menghilangkan kesempatan calon hakim ad-hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan dan yang diusulkan oleh lembaga pengusul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha untuk mengikuti seleksi pencalonan.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Mustofa dan Sahala Aritonang. Para pemohon adalah hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial yang merasa dirugikan dengan ketentuan pasal 67 ayat (2) UU PPHI.
Pemohon menilai ketentuan yang membatasi masa jabatan hakim PHI selama dua periode itu telah merugikan pemohon. Pasal tersebut juga diilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan lain mengenai kedudukan hakim yang tidak pernah mengatur atau menentukan periodisasi bagi hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Menurut pemohon ketentuan pasal 67 ayat (2) UU PPHI menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Hal tersebut didasari anggapan para pemohon bahwa pasal aquo telah mendiskriminasi para hakim ad hoc di pengadilan hubungan industrial.
(Nano Tresna Arfana/lul)