Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan pemohon I, pemohon III, pemohon IV, pemohon VIII, pemohon X, pemohon XIII, pemohon XVI, pemohon XVIII dan pemohon XIX tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya, demikian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Selasa (21/2).
Mahkamah menilai substansi masalah yang dipersoalkan para pemohon bukan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, melainkan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 152/E/T/2012 dan Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 4/VIII/2014 dan No. 24 Tahun 2014 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2013.
Kebijakan demikian, menurut Mahkamah, selain bukan kewenangan Mahkamah untuk menilainya, juga bukan diturunkan dari norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab norma undang-undangnya sendiri, sebagaimana diuraikan pada angka 1 di atas, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Lagi pula, imbuh Mahkamah, terlepas dari tidak berwenangnya Mahkamah untuk menilai kebijakan pemerintah, suatu kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong penguasaan bahasa asing karena tuntutan kebutuhan bukanlah kebijakan yang salah. Bahkan, tanpa ada kebijakan demikian pun, dengan melihat persaingan global dalam hubungan internasional saat ini, kemampuan berbahasa asing telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Upaya untuk menguasai bahasa asing tidak ada korelasinya dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa negara. Kemampuan seseorang warga negara Indonesia dalam berbahasa asing tidaklah menghilangkan kewajiban yang bersangkutan untuk memperlakukan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan hukum.
Permohonan teregistrasi Nomor 98/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh beragam profesi, yakni mahasiswa, guru, hingga dosen. Selain itu, turut menjadi pemohon adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Esa Unggul serta Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta. Para pemohon merasa dirugikan dan oleh berlakunya pasal 37 ayat (3) UU 12/2012, pasal 33 ayat (3) UU No. 20/2003 dan pasal 29 ayat (2) UU No. 24/2009 yang mengatur tentang penggunaan bahasa asing dalam dunia pendidikan untuk mendukung kemampuan bahas asing peserta didik.
Dalam dalil permohonan, pemohon menyatakan seharusnya bahasa Indonesia dapat dijadikan salah satu instrumen politik dalam menunjukkan eksistensi dan identitas nasional serta memperluas pengaruh politik Indonesia dalam percaturan politik internasional guna mencapai kepentingan nasional. Menurut para pemohon sungguh merupakan sebuah ironi jika saat ini sistem pendidikan dalam perguruan tinggi menjadikan syarat bahasa inggris (dalam bentuk nilai TOEFL, AcEPT, EAP, dll.) maupun ujian bahasa Inggris sebagai syarat wajib bagi peserta didik perguruan tinggi.
Para pemohon menambahkan, mayoritas perguruan tinggi saat ini sibuk meningkatkan peringkat perguruan tingginya dalam tingkat Internasional, salah satunya dengan menjadikan bahasa asing menjadi syarat yang harus dikuasai oleh peserta didik. Padahal untuk dapat menyelesaikan proses pendidikannya di perguruan tinggi, peserta didik diwajibkan untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah yang memerlukan kemampuan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
(Nano Tresna Arfana/lul)