Mahkamah Konstitusi menolak untuk seluruhnya permohonan mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). Putusan dengan Nomor 79/PUU-XIV/2016 dibacakan pada Selasa (21/2) di Ruang Sidang MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah telah pernah memutus persoalan konstitusionalitas norma undang-undang yang substansinya sama, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 128/PUU-VII/2009 bertanggal 11 Maret 2010, dan Putusan Mahkamah Nomor 12/PUU-XII/2014 bertanggal 19 Maret 2015. Wahid menjelaskan dalam putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, Mahkamah berpendapat pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy). Sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Artinya, Wahid menegaskan, produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
“Di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh undang-undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian, pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum,” ucap Wahid.
Wahid juga menerangkan bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak) tidak beralasan hukum. Sebab, pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter.
“Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu (press censorship). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review, sehingga seandainya terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada Mahkamah Agung,” terangnya.
Sedangkan, dalam putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, Mahkamah berpendapat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat. Syarat tersebut yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari undang-undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh undang-undang.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan tersebut di atas dan mengingat kesamaan substansinya dengan permohonan a quo maka pertimbangan dalam kedua putusan tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo. Dengan demikian menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Permohonan ini diajukan oleh Sowanwitno Lumadjeng (Ketua Umum) dan T. Yosef Subagio (Sekjen DPP) Asosiasi Karoseri Indonesia (ASKARINDO). Norma yang diujikan adalah :
Pasal 2 ayat (2): “Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 2 ayat (3): “Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 3 ayat (2): “Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.”
Pemohon berpendapat pemberlakukan 3 (tiga) Undang-Undang tersebut secara sekaligus tanpa selektif, sangat merugikan para Pemohon dan bertentangan dengan prinsip “Perlindungan dan Kepastian Hukum Yang Adil” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang seharusnya diberikan negara kepada para Pemohon. Pemohon menyampaikan Ketentuan tersebut menyebabkan banyaknya pungutan yang harus dibayar para pengusaha karoseri. Pungutan tersebut diatur dalam UU PNBP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). (LA/lul)