Lembaga Kedaulatan Rakyat Indonesia (LKRI), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap kedaulatan rakyat menguji Undang-Undang Dasar 1945. Sidang perdana permohonan dengan Nomor 12/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/2) di Ruang Sidang MK.
Usai membuka sidang, Hakim Konstitusi Aswanto selaku Ketua Panel, mempertanyakan permohonan pemohon yang tidak menyebut undang-undang untuk diuji materiil. Ia menjelaskan kewenangan yang dimiliki MK, di antaranya pengujian undang-undang dan sengketa antarlembaga negara, namun permohonan tidak terkait dengan kewenangan tersebut. Pemohon justru meminta menguji Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang bukan merupakan kewenangan MK.
“Perlu kami pertegaskan lebih awal bahwa tentu Mahkamah tidak bisa melakukan hal-hal di luar yang menjadi kewenangan sebagaimana yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu. Karena di dalam permohonan Saudara ini Saudara sudah menegaskan bahwa ini bukan pengujian undang-undang dan ini bukan pengujian sengketa lembaga negara sementara Mahkamah punya kewenangan hanya itu,” terangnya sebelum mempersilahkan pemohon menyampaikan permohonannya.
Diwakili oleh Ignatius Adi Brahmantijo, pemohon menjelaskan sesungguhnya Mahkamah Konstitusi tidak hanya diberikan lima kewenangan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ia menyebut kewenangan MK adalah melindungi kepentingan rakyat yang berkaitan dengan konstitusi. Dalam permohonannya, pemohon tidak menyebutkan undang-undang apa yang diminta untuk di uji. Pemohon hanya menyatakan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Ketentuan a quo mengatur sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1):
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Pasal 1 ayat (2):
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.
Pemohon merasa kedua pasal dalam konstitusi tersebut multitafsir dan meragukan. Menurut Pemohon, keberadaan pasal tersebut justru menghalangi keberadaan LKRI. Selain itu, pemohon merasa perlu ada tata cara dalam UUD 1945 untuk membentuk sebuah lembaga yang beranggotakan seluruh Rakyat Indonesia yang berwenang untuk menunjuk, memilih dan menetapkan pekerja negara dan pekerja pemerintahan. Dengan demikian, menurut pemohon, kedaulatan rakyat dapat diwujudkan. Selanjutnya, pemohon berargumentasi keberadaan LKRI sudah sesuai amanat UUD 1945. Oleh sebab itu, jika LKRI ditetapkan sebagai lembaga eksekutif berarti menjalankan kehendak bangsa Indonesia. Sehingga pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan LKRI sebagai lembaga negara.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Wahid mengingatkan bahwa peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945 sehingga tak ada pengadilan yang bisa mengubahnya. Kewenangan mengubah UUD 1945 hanya ada di tangan MPR.
“Kita tidak dapat melampaui melebihi kewenangan kita. Kalau bukan kewenangan kita, ya, nanti ada putusan kita kalau itu bukan kewenangan kita. Nah, oleh sebab itu di penasihatan ini, ya kalau memang hal-hal yang dirasakan tadi sebagai rakyat itu ada yang dirasakan di undang-undang atau peraturan perundangan di bawahnya itu ada hal yang tidak sesuai dianggap, ya, gunakanlah alur jalur ini sehingga bisa masuk,” terangnya.
Sementara Suhartoyo menambahkan jika pemohon tetap bertahan dengan permohonannya tanpa perbaikan, Mahkamah sudah bisa menentukan sikap. Menurutnya, akan lebih baik pemohon mengubah dalil permohonan dengan mengaitkan undang-undang yang diuji yang melanggar hak konstitusi pemohon dalam UUD 1945. (LA/lul)