Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Perkara Nomor 111/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Sterren Silas Samberi, dokter PNS di Rumah Sakit Umum Daerah Asmat, Kabupaten Asmat Provinsi Papua.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan adanya permasalahan keadilan yang dijatuhkan hakim melalui putusannya dalam perkara konkret tertentu, sebagaimana dialami pemohon akibat pemberlakuan Pasal 9 UU Tipikor. Terhadap hal tersebut, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul yang membacakan pertimbangan hukum menegaskan Mahkamah tidak memiliki kompetensi atau kewenangan untuk menilainya. Sebab hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan hakim yang memutus perkara konkret yang bersangkutan. Namun, satu hal yang dapat diyakini adalah bahwa hakim, dalam menjatuhkan putusannya telah menjelaskan dalam pertimbangan hukumnya mengapa putusan yang diambil demikian adanya. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Dalam permohonannya, pemohon mengujikan Pasal 9 UU Tipikor:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.”
Sesuai putusan pidana nomor 53/Pid.SusTPK/2015/PN Pengadilan Negeri Jayapura, pemohon dijatuhi hukuman pidana 2 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000 atas tuduhan tindak pidana korupsi. Pemohon dituduh menggunakan uang sebesar Rp 630.616.395 untuk kepentingan sendiri dan memperkaya diri sendiri. Namun, hal tersebut dinilai tidak tepat karena Pemohon tidak melakukan korupsi, tapi tetap dihukum dengan menggunakan dasar hukum UU Tipikor. Sesuai putusan pidana nomor 53/Pid.SusTPK/2015/PN Pengadilan Negeri Jayapura halaman 177 paragraf terakhir dan halaman 178 paragraf pertama telah terang benderang menyatakan pada intinya pemeriksaan di persidangan tidak dapat membuktikan bahwa dana sebesar Rp 630.616.395 telah diambil dan digunakan Pemohon untuk kepentingan sendiri dan memperkaya diri sendiri. Menurut Pemohon dana tersebut telah dibelanjakan seluruhnya untuk pelayanan kesehatan masyarakat miskin asli Papua di Kabupaten Asmat.
Pemohon menyampaikan, Pasal 9 UU Tipikor bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 alinea kedua dan keempat, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (4) UUD 1945 karena pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon, dimana Pemohon adalah seorang dokter PNS yang mengabdi di Kabupaten Asmat Provinsi Papua dan dalam tugasnya mendukung program Jaminan Kesehatan Masyarakat Papua (Jamkespa) untuk masyarakat Kabupaten Asmat, tapi dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 9 UU Tipikor karena tuduhan melakukan penyelewengan dana Jamkespa. Hal ini telah mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan perlindungan kepastian hukum yang adil, kehilangan hak untuk memperoleh kesejahteraan sesuai dengan profesinya.
Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 9 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat hukum secara bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang dimaknai semua pemalsuan (tanpa memerdulikan kerugian yang ditimbulkan, dan/atau memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara). (LA/lul)