Sebanyak 22 guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Kabupaten Rembang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/2) siang. Kedatangan mereka disambut oleh Ketua Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Teknologi Informasi Komunikasi (P4TIK) MK Noor Sidharta.
Pada pertemuan itu, sejumlah materi disampaikan Noor Sidharta. Salah satunya adalah mengenai kewenangan MK Republik Indonesia (MKRI) yang dibentuk sejak 13 Agustus 2003. Kewenangan utama MKRI adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. “Kewenangan menguji undang-undang ini ada di semua Mahkamah Konstitusi negara mana pun dan putusannya menjadi mahkota,” kata Sidharta.
Terkait kedudukan hukum dalam pengujian undang-undang, menurut Sidharta, MK di Indonesia terbilang luar biasa. Mereka yang dikatakan memiliki kedudukan hukum dalam pengujian undang-undang, bukan hanya kelompok masyarakat dan organisasi tetapi juga perorangan.
“Padahal di negara yang Mahkamah Konstitusinya sudah berkembang pesat seperti Austria dan Jerman, mereka yang memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian undang-undang hanyalah kelompok masyarakat dan organisasi,” tambah Sidharta.
Kewenangan MKRI selanjutnya adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara (SKLN). Kewenangan ini pernah dilakukan MKRI saat terjadi sengketa antara pemerintah dengan BPK terkait saham perusahaan Newmont. Selanjutnya, kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memutus pembubaran partai politik. Lainnya, ada satu kewajiban MKRI untuk memutus pendapat DPR bila ada dugaan Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum.
Sidharta juga memaparkan sejarah judicial review dari kasus Marbury vs Madison. Saat pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1800, Thomas Jefferson berhasil mengalahkan Presiden sebelumnya John Adams. Dalam masa peralihan serah terima jabatan, John Adams mengangkat orang-orang dekatnya menjadi pejabat, termasuk menjadi hakim. Dia tandatangani SK pengangkatan pejabat, namun pengangkatan itu tidak sempat disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan karena John Adams keburu lengser.
Dalam perkembangannya, James Madison sebagai sekretaris negara yang baru diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson, menolak memberi salinan surat pengangkatan itu kepada para pejabat bersangkutan. Salah seorang yang diangkat dan protes adalah William Marbury karena merasa surat pengangkatan dirinya sebagai pejabat sudah disetujui Kongres. Selanjutnya, Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall. Marbury meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan aparat pemerintah menyerahkan surat pengangkatan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menganggap Marbury sesuai hukum berhak atas surat-surat pengangkatan itu. Namun, Mahkamah Agung juga menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat dimaksud, karena pasal yang melandasi kewenangan tersebut bertentangan dengan Konstitusi. Dari kasus itulah judicial review muncul.
Dalam pertemuan itu, Sidharta menjelaskan pula bahwa pasca reformasi politik 1998 terjadi perubahan konstelasi politik dari masa orde baru menuju masa reformasi. Sejumlah tuntutan reformasi muncul pada saat itu. Salah satunya adalah tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
“Beberapa kesepakatan pun dibuat setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 boleh diubah kecuali di bagian pembukaan. Juga tetap mempertahankan pasal yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertegas sistem presidensil,” ujar Sidharta.
Selain itu, setelah reformasi politik 1998 ada beberapa lembaga negara baru dibentuk dan lembaga negara yang ditiadakan. Misalnya muncul MK, Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
(Nano Tresna Arfana/lul)