Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan permohonan terkait kontrak politik dalam pencalonan pemilu. Perkara Nomor 14/PUU-XV/2017 tersebut diajukan Kurnia Irawan Harahap, seorang praktisi hukum.
Pemohon memohonkan uji materiil dari tiga undang-undang, yakni Pasal 94 ayat (2) huruf c UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg), dan Pasal 47 ayat (1) (2) (3) (4) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Dalam permohonannya, pemohon menjelaskan fenomena mahar politik yang masih marak di Indonesia, utamanya ketika seorang calon meminta dukungan untuk maju dalam pemilihan umum. “Masih terdapat kabar adanya partai yang mensyaratkan sejumlah biaya sebagai mahar politik. Ini sebagai syarat agar didukung parpol yang ada,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia menyebut negara belum mengatur tentang praktik mahar politik dan kontrak politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden serta dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah. Sementara itu, dalam UU Pilkada telah diatur dengan tegas bahwa tidak boleh ada transaksi uang dari calon kepala daerah kepada partai politik.
“Terdapat diskriminasi dalam mengatur tentang larangan mahar politik dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia karena hanya pemilihan kepala daerah saja yang memiliki aturan larangan praktik mahar politik, tetapi tidak melarang kontrak politik. Sedangkan untuk pemilihan presiden dan pemilihan legislatif sama sekali tidak ada larangan praktik mahar politik dan kontrak politik,” ujarnya.
Menurut pemohon perlu adanya larangan praktik kontrak politik di Indonesia. Sebab tindakan kontrak politik merupakan perilaku yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Oleh karena itu, pemohon meminta MK mengeluarkan keputusan yang memberlakukan larangan mahar politik dalam pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah.
Salah Alamat
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati selaku ketua panel menyebut permohonan salah alamat. Pada initinya, pemohon menginginkan frasa kontrak politik dan mahar dicantumkan dalam undang-undang yang diujikan. “Kalau lihat seperti itu mestinya permohonannya enggak ke sini, tapi ke pembentuk undang-undang (DPR) karena itu legislative review,” jelasnya.
Selain itu, Maria menilai pemohon tidak memiliki legal standing yang jelas. Pemohon diminta menjelaskan kerugian konstitusional secara spesifik atau khusus, yakni adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Senada, Hakim Konstitusi Aswanto menegaskan MK tidak boleh menambah norma. “Kalau ingin menambah norma seharusnya diajukan ke DPR,” tegasnya.
Terkait legal standing, Aswanto meminta pemohon meyakinkan MK bahwa dirinya telah atau akan dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak tercantumnya norma tersebut. ”Saudara misalnya menguraikan, saya ini mau jadi calon gubernur di Jakarta, tapi menjadi tidak bisa karena saya tidak punya dana untuk menyerahkan mahar, misalnya ke partai tertentu,” jelasnya.
(ARS/lul)