Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Pasal 61 ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependuduan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013, Rabu (22/2). Agenda sidang perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016 adalah mendengar keterangan ahli yang dihadirkan pemohon.
Pengamat Kebijakan Publik Budi Santoso menjelaskan data-data pada KTP elektronik dan kartu keluarga (KK) adalah pintu masuk utama untuk dapat merasakan manfaatnya terhadap akses pelayanan publik. Misal, dalam penerbitan SIM dan sertifikat tanah. Namun, kenyataannya, pemanfaatan data dalam KTP elektronik dalam akses pelayanan publik tidak dapat dijalankan. Sebab, pemberi layanan publik hanya memeriksa data yang tertulis secara eksplisit di elemen data KTP elektronik dan KK.
“Akhirnya, lagi-lagi tindakan diskriminasi harus dialami oleh penghayat kepercayaan, sebagaimana yang dialami oleh para pemohon yang data kolom agamanya kosong atau tanda strip sehingga mereka tak bisa menikmati akses pelayanan publik,” ujar mantan komisioner Ombudsman tersebut dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Kerugian yang dialami Pemohon, jelasnya, tidak semata-mata merupakan kesenjangan antara norma dengan implementasinya di lapangan. Kerugian juga terjadi karena materi yang dimohonkan pengujian tersebut menimbulkan kerugian yang nyata, riil, atau aktual yang spesifik dan bukan lagi bersifat potensial.
Sementara, mantan Anggota DPR Tumbu Saraswati menyatakan dalam kehidupan bermasyarakat, kaum penghayat kepercayaan sering mendapatkan perilaku yang sangat diskriminatif. Padahal UUD 1945 memberikan jaminan bahwa setiap orang tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.
“Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2), yaitu setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif,” jelasnya.
Dengan adanya rumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 Bab X, imbuhnya, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia untuk memeluk suatu agama atau menganut suatu kepercayaan, serta tidak diperlakukan secara diskriminatif telah dijamin oleh negara.
Sebelumnya, pemohon menilai Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut pemohon, mengakibatkan pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga hal ini jelas melanggar hak asasi manusia. Sedangkan hak-hak dasar tersebut diatur dan dijamin dalam UUD 1945.
(ARS/lul)