Sebanyak 30 peserta Diklatpim Lembaga Administrasi Negara (LAN) Angkatan 43 berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (17/2). Mereka disambut Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Teknologi Informasi Komunikasi (P4TIK) MK Noor Sidharta di Aula Lantai 4 MK.
Mengawali pemaparan, Sidharta bercerita sejarah awal MK berdiri, yakni hasil dari reformasi. Sebelum reformasi, katanya, ada pembagian lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. “Namun masuk reformasi lembaga tertinggi negara yakni MPR berubah menjadi sebatas lembaga tinggi saja. Istilahnya dulu bersifat vertikal hierarki lalu bertransformasi menjadi horizontalis,” ujarnya
Dengan tak ada lembaga tertinggi negara, jelasnya, diharapkan muncul check and balance antar lembaga tinggi negara. MK sebagai salah satu lembaga tinggi negara menjadi salah satunya. MK berwenang memastikan produk UU buatan DPR dan Presiden tak bertentangan dengan konstitusi. “Istilahnya dulu bersifat vertikal hierarki lalu bertransformasi horizontalis,” imbuhnya.
“Wacana terkait pendirian sejenis lembaga MK sudah dimulai saat awal kemerdekaan oleh Muhammad Yamin. Namun itu ditolak oleh Soepomo karena Konstitusi saat itu belum mengenal Trias Politica,” jelasnya.
Terkait tugas dan wewenang MK, dia menyatakan terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban MK berdasarkan amanat UUD 1945. Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden
Sidharta menjelaskan MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Para hakim tersebut, jelasnya, merupakan representasi pilihan dari Mahkamah Agung (MA), presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” ujarnya.
Paska pemaparan usai, agenda masuk pada sesi tanya jawab. Tercatat tiga orang bertanya pada narasumber. Pertanyaan pertama berasal dari Nely PNS asal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dirinya menanyakan upaya MK dalam memulihkan reputasinya paska terjadinya kasus Patrialis Akbar.
Sidharta menjelaskan MK mengomunikasikan ke publik jika itu kasus personal sehingga jangan ditarik ke dalam konteks MK secara general. Hal tersebut agar publik jangan menganggap kasus tersebut adalah kesalahan MK secara keseluruhan.
“Kita juga memperkuat tranparansi dan akuntabilitas pada publik, yaitu kita mendaftarkan nomor rekening, dan nomor hp seluruh pegawai pada KPK dan PPATK. Ini agar mereka dapat mengawasi segala tindak tanduk kami,” jelasnya.
Pertanyaaan kedua datang dari Titik PNS Pemprov DKI Jakarta. Dia bertanya apakah MK tak berperan di sisi hulu, dalam artian saat proses awal pembentukan undang-undang agar undang-undang yang dibuat tak bertentangan dengan konstitusi.
“Harus dipahami kalau MK adalah lembaga peradilan. Dengan kata lain sifatnya menunggu dan tidak proaktif,” jawabnya. Dia menegaskan jika ada permohonan masuk baru bisa MK mentafsirkan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.
Terakhir, PNS dari Kemenristekdikti, Intan, bertanya tentang kenapa hakim MK mesti berasal dari tiga kanal yakni MA, presiden, DPR. Sidharta menyatakan hal tersebut sudah diatur oleh Pasal 24 C ayat 3. “Ini lebih kepada penggambaran representasi dari trias politica,” jelasnya.
(ARS/lul)