Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 250 mahasiswa Hukum Universitas Yos Sudarso Surabaya, Jumat (10/2). Mereka disambut langsung peneliti MK Abdul Ghofar di Ruang Sidang Panel Lantai 4 MK.
Dalam paparan awal, Ghofar menjelaskan sejarah sistem hukum di dunia, yakni common law dan civil law. Common law berasal dari Inggris yang saat itu hukum berdasar atas kesepakatan bersama. “Saat itu sering raja bertemu rakyat. lalu mereka meminta putusan atas dasar mencari keadilan untuk suatu permasalahan,” jelasnya.
Lalu, ujar dia, muncul antithesis dari common law yaitu civil law. Prinsip utamanya adalah menciptakan kepastian hukum. Bentuknya adalah aturan hukum dikodifikasi dalam suatu undang-undang yang dituliskan secara rigid. Penerapan civil law, jelasnya, banyak diterapkan di negara Eropa Continental.
“Civil law muncul akibat putusan di negara common law banyak yang sifatnya tidak seragam. Misal dalam kasus yang sama, putusan hukumnya ternyata berbeda beda,” jelasnya.
Sistem hukum di Indonesia sendiri, lanjutnya, menganut sistem hukum prisma atau in between. Menurut Ghofar, Indonesia menganut kepastian hukum tetapi juga menerapkan hukum yang responsif. Hakim, selain merujuk pada undang-undang yang berlaku, dapat juga membuat penafsiran hukum baru.
Mengenai posisi MK sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan undang-undang, Ghofar menjelaskan MK berperan sebagai penjaga kedaulatan hukum. Peran tersebut, jelasnya, tak terwujud saat orde baru karena penafsir undang-undang saat itu adalah presiden.
“Jaman orde baru undang-undang lahir atas inisiasi presiden. Namun undang-undang tidak bisa dibatalkan jika bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
Terkait tugas dan wewenang MK, dia menyatakan terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban MK berdasarkan amanat UUD 1945. Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden
Dalam kesempatan itu, Ghofar menjelaskan MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Para hakim tersebut, jelasnya, merupakan representasi pilihan dari Mahkamah Agung (MA), presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” ujarnya.
Tanya Jawab
Setelah pemaparan selesai, salah satu mahasiswa, Syamsul Hadi Purnomo, bertanya tentang kiprah MK sebelum tahun 2003. Ia merasa heran karena MK telah diamanatkan sesuai amanat amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001, namun baru berdiri tahun 2003. “Lalu selama dua tahun ini siapa yang memerankan tugas MK,” tanyanya.
Dalam kurun waktu dua tahun, jelas Ghofar, tugas dan wewenang MK dijalankan sementara oleh MA selagi menunggu pelantikan hakim MK disahkan oleh presiden. “Baru pada 13 Agustus 2003 Keppres pelantikan hakim MK dikeluarkan Presiden Megawati. Tanggal tersebut juga dijadikan hari lahir MK,” jelasnya.
Penanya kedua, Ari Setya Utomo, menanyakan kekuatan putusan MK. Ghofar menjelaskan putusan MK bersifat final dan binding. Artinya, putusan MK wajib ditaati seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Contohnya saat MK memutus anggaran pendidikan minimal mesti 20 persen, Presiden SBY saat itu langsung mengikutinya. Sebab kalau tidak, Presiden SBY dapat tergolong melanggar undang-undang,” tegasnya.
(ARS/lul)