Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Kamis (9/2). Hadir dalam persidangan Ahars Suleman selaku pemohon perkara teregistrasi Nomor 9/PUU-XV/2017 mengujikan pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 10/2016.
Pasal 176 ayat (1) UU No. 10/2016 berbunyi, “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.”
“Pemohon adalah Ketua Tim Sukses Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sani-Nurdin dalam Pilkada Provinsi Kepulauan Riau 2015. Sehingga pemohon memiliki kepentingan untuk menjaga suara rakyat pemilih Provinsi Kepri terhadap perolehan suara Pasangan Sani Nurdin yang menjadi pasangan gubernur dan wakil Gubernur terpilih Provinsi Kepri, dipertahankan dengan menempatkan calon pengganti wakil gubernur yang dipilih oleh gubernur atas dasar rekomendasi dari partai-partai politik pengusung. Bukan wakil calon gubernur pengganti yang dipilih oleh DPRD Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana disebutkan dalam Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Pilkada,” papar Vivi Ayunita kuasa hukum pemohon.
Pemohon mendalilkan, konsekuensi dari berlakunya Pasal 176 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 10/2016 yang mengatur mekanisme pengisian jabatan apabila Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan dilakukan melalui usulan dari DPRD mengenai pengangkatan dan pengesahan wakil, sebagai gubernur, bupati atau walikota adalah menjadi kosongnya jabatan wakil kepala daerah.
Menurut pemohon, mekanisme pengisian jabatan untuk wakil kepala daerah yang diatur dalam Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 10/2016 hanya mengatur sebatas pada wakil kepala daerah yang berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Sedangkan pengisian jabatan wakil kepala daerah yang disebabkan naiknya wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah tidak diatur secara eksplisit dalam rumusan a quo sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sementara itu Supriyadi Adi dkk. selaku advokat maupun pemohon perkara Nomor 11/PUU-XV/2017 menguji pasal 157 ayat (5) dan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10/2016. Pemohon mendalilkan bahwa pengujian pasal yang mengatur hari dalam penyelesaian perselisihan hasil dan/atau sengketa sejak tahapan sengketa proses sampai sengketa hasil, satu dan lain hal berkaitan erat dengan telah diajukannya Putusan MK No. 105/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 November 2015, yang menyatakan kata “hari” dalam Pasal 157 ayat (8) UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “hari kerja” yang kemudian frasa “hari kerja” tersebut diadopsi oleh UU No. 10/2016.
Pemohon beranggapan, meskipun kata “hari” telah dimaknai sebagai “hari kerja” dalam putusan Mahkamah Konstitusi a quo, namun menurut hemat para pemohon, khusus untuk berlakunya Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 akibat dari frasa “3 hari kerja terhitung sejak” menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif karena menimbulkan multi tafsir dalam memaknai bunyi pasal a quo.
Menurut pemohon, ketentuan batas pengajuan permohonan kepada MK dalam pasal 157 ayat (5) UU No. 10/2016 semakin dipersempit, yang semula 3 x 24 jam kemudian berubah menjadi “3 hari kerja sejak diumumkan penetapan perolehan suara”. Artinya, para pemohon hanya diberi kesempatan 2 hari kerja efektif (16 jam efektif) untuk mengajukan permohonan.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selaku Ketua Panel mencermati permohonan pemohon belum terlihat uraian yang menunjukkan pertentangan antara undang-undang yang dimohonkan pengujian itu terhadap Undang-Undang Dasar.
“Logikanya belum tampak di situ. Anda baru menguraikan kasus-kasusnya yang terjadi. Tentu tidak dilarang untuk menguraikan kasus, sekali lagi tidak dilarang untuk menguraikan itu. Tetapi argumentasi utamanya tidak terletak di situ. Kasus itu hanya contoh sebagai ilustrasi hanya untuk menguatkan argumentasi,” ucap Palguna kepada pemohon perkara No. 9.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo mempersoalkan kedudukan hukum pemohon perkara No. 11. “Kalau hari ini Bapak maju sendiri tanpa ada kuasa dari peserta atau calon, artinya perlu Bapak pertajam lagi dan memberi keyakinan kepada Mahkamah apakah Bapak tetap punya legal standing. Kalau Bapak tidak ada kuasa para calon yang kehilangan kesempatan terhadap 3x24 jam itu atau terhadap persentase itu,” kata Suhartoyo menasehati pemohon.
(Nano Tresna Arfana/lul)