Perluasan makna aturan mengenai perzinahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dinilai akan berpotensi menyebabkan kriminalisasi terutama bagi warga negara yang perkawinannya belum diakui oleh negara. Demikian disampaikan oleh Nurrohman selaku ahli yang dihadirkan YLBHI dalam sidang ke-20 uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (9/2) siang.
Sebagai ahli pihak terkait, ia menjelaskan jika rumusan Pasal 284 diperluas pemidanaannya sampai ke luar ruang lingkup perkawinan dan deliknya diubah dari delik aduan menjadi delik biasa, akan menyebabkan beberapa potensi. Misal, potensi kriminalisasi terhadap orang-orang yangkarena satu dan lain hal perkawinannya tidak diakui oleh negara. “Jadi karena perkawinannya tidak diakui, kemudian amat rentan untuk dituduh sebagai berzina dan itu akan rentan menjadi objek kriminalisasi,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Anwar Usman tersebut.
Ia berpendapat jika rakyat Indonesia ingin mengubah KUHP, termasuk di dalamnya mengubah pengertian perzinaan, harus melalui lembaga legislatif. Para pemangku kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat yang akan terkena dampak dari perubahan aturan itu harus terlibat. “Sehingga akan lahir hukum yang benar-benar adil, arif, bijaksana, dan membawa rahmat bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi atas dasar apapun,” ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, Mahkamah Konstitusi sebaiknya menolak permohonan Pemohon. Ia menambahkan perubahan atau penyempurnaan pasal-pasal dalam KUHP diserahkan kepada lembaga pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR sehingga lebih mudah disesuaikan dengan perkembangan zaman. “Dengan kata lain, biarlah ia tetap menjadi kebijakan yang terbuka atau sering dipahami sebagai open legal policy,” tandasnya.
Sedangkan Akademisi UI Mahmud Syaltout menilai perubahan KUHP ini akan meningkatkan biaya yang tidak murah dan membebani APBN untuk penegakan hukum. Dari total anggaran yang dianggarkan oleh lembaga penegak hukum, akan dibebankan kepada negara sekitar Rp331 miliar untuk perubahan tiga pasal yang diujikan.
“Apabila kemudian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP itu diubah, maka beban biaya negara untuk penegakan hukumnya sebesar Rp7.213.827.887,00. Artinya, akan terkadi kenaikan biaya signifikan untuk penegakan hukum dalam perubahan tiga pasal KUHP tersebut sebesar 22,38 kali lipat,” tandas ahli yang juga dihadirkan YLBHI tersebut.
Kejahatan Luar Biasa
Menanggapi keterangan tersebut, Feizal Shah Menan selaku kuasa pemohon mempertanyakan penghitungan ahli. Ia menyebut pengeluaran sebesar itu sudah dikeluarkan negara guna menegakkan hukum bagi para koruptor. Menurutnya, seharusnya tidak perlu ada perbedaan dalam penegakan hukum, apalagi kejahatan kesusilaan sama besar dampaknya dengan kejahatan korupsi.
“Kalau untuk tindak pidana korupsi, negara memberlakukan itu dengan dasar terjadinya kejahatan yang luar biasa, maka bukankah kejahatan-kejahatan kesusilaan ini juga merupakan kejahatan yang luar biasa, sehingga Negara, khususnya Presiden Joko Widodo, sampai menerbitkan perpu yang kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Itu semua menegaskan betapa kejahatan kesusilaan ini memang sudah luar biasa,” tegasnya.
Feizal pun menekankan bahwa hukum memiliki fungsi sebagai alat rekayasa sosial untuk membangun masyarakat yang lebih baik. “Dan negara punya kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan bangsa ini selamat bukan menuju kehancurannya,” tutupnya.
Permohonan yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (LA/lul)