Sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/2). Para pemohon perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut mempersoalkan kewenangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter.
Dr. Judilherry Justam , Dr. Nurdadi Saleh, dan Dr. Pradana Soewondo menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon pun menguji Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.
Diwakili Vivi Ayunita selaku kuasa, pemohon menjelaskan kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut, menurut pemohon, dapat menciptakan perilaku yang sewenang-wenang, bahkan tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Apalagi sekarang tidak ada mekanisme kontrol/pengawas internal organisasi yang efektif,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Selain itu, lanjutnya, setiap lulusan Fakultas Kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter). Sehingga, menurutnya, tidak diperlukan lagi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Kolegium Dokter Indonesia jelas tidak memenuhi ketentuan dalam perundang-undangan, sehingga tidak layak dan tidak punya landasan hukum untuk menyelenggarakan uji kompetensi,” imbuhnya.
Pemohon pun mengutip Putusan Mahkamah Nomor 122/PUU-XII/2014 tertanggal 7 Desember 2015 telah yang menolak permohonan PDUI (Perhimpunan Dokter Umum Indonesia) dengan menyatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Dokter tidak memiliki kekuatan mengikat. Sehingga, demi hukum tidak dibenarkan bagi kolegium yang dibentuk IDI untuk menyelenggarakan uji kompetensi terhadap lulusan Fakultas Kedokteran.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyatakan sistematika permohonan sudah memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya. Namun, secara substansi, dasar pengujian undang-undang yang diuji terkesan memiliki pertentangan. “Jadi, alangkah baiknya kalau setiap pasal-pasal yang diajukan pengujian ini mengujinya ke pasal dari Undang-Undang Dasar itu yang tertentu,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjelaskan pasal yang diujikan pemohon beberapa sudah pernah diujikan. “Pasal 36 ayat (3), Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran itu sudah ada amar putusan kita, ini ditolak di Perkara Nomor 122 Tahun 2014, ini mohon diperhatikan,” jelasnya.
Terakhir, Hakim Konstitusi Aswanto mengkritisi legal standing pemohon sebagai dokter-dokter senior. Namun, di dalam permohonannya tertera pemohon memiliki putra-putri dokter-dokter baru. “Ini juga perlu diperjelas apakah dokter-dokter baru ini nanti yang akan terhalang atau yang merasa dirugikan. Jangan sampai nanti terkesan bahwa sebenarnya yang mengalami potensi kerugian itu sebenarnya dokter baru, gitu, tapi yang mengajukan permohonan ini bapaknya sehingga seolah-olah diwakilkan,” katanya.
(ars/lul)