Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (8/2). Agenda sidang perkara No. 105/PUU-XIV/2016 adalah mendengar keterangan ahli yang dihadirkan pemohon.
Praktisi Hukum Eggi Sudjana menyatakan banyaknya tindakan yang dinilai bersifat melecehkan putusan MK. Misal, ada yang menyatakan putusan MK yang bersifat positif legislator tidak wajib untuk dipatuhi. “Itu berdasar pada makalahnya dari yang saya lihat dari Yudi Kristiana dari seorang jaksa yang disampaikan dalam seminar di UI Tanggal 10 Agustus 2016 tentang implikasi putusan MK Nomor 33 tahun 2016 terikat atau terkait dengan hak mengajukan peninjauan kembali,” jelasnya pada sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Isi makalah itu, lanjutnya, memandang putusan MK mencerminkan tiga hal yang tak ideal. Yaitu
Putusan MK tidak membumi, kedua Hakim MK telah gagal memahami bekerjanya hukum di masyarakat, ketiga MK gagal menjadi living integrator, tidak akan diikuti oleh jaksa penuntut umum.
Adapun Praktisi Hukum Indra Sahnun Lubis yang juga ahli pemohon merasa sedih melihat fenomena banyaknya putusan MK yang tidak dapat dieksekusi. “Salah satu, misalnya Undang-Undang Advokat yang mengatakan Pasal 4 bahwa advokat itu sebelum beracara, dapat disumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi. Tapi ternyata, lebih besar kekuasaan surat edaran Mahkamah Agung daripada undang-undang, itulah contohnya,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, contoh kasus putusan MK tentang anak Moerdiono, itu juga tidak berjalan. Dirinya melihat putusan MK yang berjalan dan dipatuhi sebatas dalam konteks Pilkada semata. Diluar itu masih banyak putusan yang tidak diindahkan pihak yang berperkara.
Sebelumnya, Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Pasal-pasal tersebut terkait dengan kewajiban mematuhi putusan MK.
Para pemohon menyatakan asas putusan MK adalah res judicata (putusan hakim harus dianggap benar). Selain itu, putusan MK juga bersifat res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan). Namun, menurut pemohon, fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan). Pemohon menilai tidak cukup apabila hanya menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak lain yang terkait untuk melaksanakan putusan MK.
“Untuk itu, perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” jelasnya dalam sidang terdahulu (23/11)
(ARS/lul)