Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif dalam memperjuangkan keterbukaan informasi dan hak asasi manusia terkait aturan pengangkatan kembali anggota Komisi Informasi (KI). Mahkamah menyatakan frasa “dapat diangkat kembali” dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
”Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ’dipilih kembali melalui suatu proses seleksi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik’,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan Nomor 77/PUU-XIV/2016 di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (7/2).
Mahkamah berpendapat frasa “dapat diangkat kembali” dalam Pasal 33 UU KIP tidak dapat ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan secara sepihak (kepada gubernur atau bupati/walikota, red.). Sebab, berkaitan dengan pengangkatan anggota KI yang diatur secara tegas dalam Pasal 30 ayat (2) juncto Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU KIP.
Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum menjelaskan pengisian jabatan anggota KI tidak dapat ditafsirkan tanpa melalui seleksi yang melibatkan pihak lain. Jika ditafsirkan demikian, lanjutnya, maka hal itu dapat mempengaruhi independensi atau kemandirian KI. Mahkamah berpendapat rumusan frasa a quo merupakan pilihan terminologi pembentuk undang-undang yang sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk membedakan dengan frasa “dapat dipilih kembali”.
Selanjutnya, Aswanto memaparkan dalam aturan tersebut ada kewajiban Pemerintah, baik Pemerintah Pusat (Presiden) maupun Pemerintah Daerah (Gubernur atau Bupati/Walikota) yang diamanatkan undang-undang untuk melakukan proses rekrutmen anggota KI secara terbuka, jujur, dan objektif. Hal itu, lanjutnya, menunjukkan pada dasarnya masyarakat yang berperan menentukan dalam proses rekrutmen atau seleksi anggota KI dimaksud. “Adapun Pemerintah, dalam hal ini baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesungguhnya lebih berperan sebagai fasilitator,” tegasnya membacakan putusan permohonan dari tiga LSM tersebut.
“Berdasarkan penilaian dan pertimbangan di atas, telah jelas bagi Mahkamah bahwa frasa “dapat diangkat kembali” dalam Pasal 33 UU 14/2008 dalam praktik telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mekanisme pengangkatan anggota Komisi Informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU 14/2008 harus mengacu kepada mekanisme pengangkatan Komisi Informasi yang diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 32 UU 14/2008,” tandasnya.
Yayasan Penguatan Partisipasi lnisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTlRO). Yayasan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) beserta beberapa pemohon perseorangan tercatat sebagai pemohon. Para pemohon menyoal masa jabatan Komisi lnformasi (Kl) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU KIP. Masa jabatan anggota KI dalam pasal tersebut adalah adalah empat tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.
Pemohon menilai, ketentuan tersebut telah menutup akses bagi setiap warga negara yang hendak menjadi Anggota KI. Permohonan tersebut juga dilatarbelakangi oleh diangkatnya kembali Anggota KI Gorontalo untuk periode kedua tanpa proses seleksi. Diangkatnya anggota Kl secara sepihak oleh gubernur tersebut, menyebabkan Muhammad Djufryhard selaku pemohon tidak dapat mendaftarkan diri menjadi anggota Kl. Lebih lanjut dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan bahwa jika Anggota Kl diangkat hanya dengan pertimbangan keputusan pemerintah tanpa melibatkan kekuasaan lain seperti diatur undang-undang, maka kinerja Kl tersebut berpotensi bias kepentingan. Selain itu, hal ini juga tidak menjamin perlindungan hak publik atas Informasi. (LA/lul)