Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Selasa (7/2). Kuasa hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono hadir dalam sidang perbaikan permohonan tersebut.
“Yang Mulia, berdasarkan nasihat Yang Mulia dua minggu yang lalu, kami telah merevisi dan memperbaiki permohonan kami. Pertama, kami telah memperbaiki rumusan tentang legal standing termasuk poin-poin a, b, c, d yang seperti rekomendasi Yang Mulia. Termasuk juga penambahan poin 17 terkait legal standing,” kata Supriyadi dalam sidang perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu, ungkap Supriyadi, pemohon memperbaiki daftar tabel agar lebih jelas KUHP versi mana yang disandingkan dengan yang asli dari Belanda. “Kami memperkuat argumen tentang aanslag berdasarkan referensi baru yang kami temukan termasuk secara historis bagaimana perubahan pasal makar dalam KIHPP versi Balai Pustaka yang digunakan tahun 1921 dengan KUHP versi Balai Pustaka Tahun 1940 untuk menunjukkan bahwa memang makar dan aanslag ini merupakan dianggap satu makna,” urai Supriyadi.
Hal lain, pemohon menambahkan makna makar yang diperjelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Makna tersebut menurut pemohon menunjukkan ada perluasan makna luar biasa terkait dengan istilah makar dan kemungkinan besar makna tersebut yang menjadi cikal bakal dari meluasnya makar ke dalam praktik pengadilan saat ini. “Kemudian kami juga menambahkan nasihat dari Majelis Hakim tentang kasus-kasus yang selama ini telah dilaksanakan di Indonesia tapi kami belum berhasil memberikan gambaran seluruh kasus. Kami hanya menampilkan kasus-kasus penting yang menurut kami penting untuk kami masukkan dalam permohonan. Sedangkan kasus-kasus yang banyak itu akan kami sampaikan melalui ahli sehingga lebih kaya,” papar Supriyadi.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, kata makar dalam KUHP dipermasalahkan Pengurus ICJR Syahrial Wiriawan Martanto bersama rekan-rekannya. Ketentuan makar tersebut termaktun dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b dan 140 UU KUHP. Pasal 87 UU No. 1/1946 menyebutkan, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.”
Pasal 104 UU a quo berbunyi, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Pemohon menegaskan bahwa tidak ada kejelasan dari definisi kata makar yang dalam KUHP merupakan terjemahan dari kata aanslag. Menurut pemohon, makar bukan bahasa Indonesia yang dipahami. Makar berasal dari bahasa Arab, sedangkan aanslag artinya serangan. Tidak jelasnya penggunaan kata aanslag yang diterjemahkan sebagai makar, telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag.
(Nano Tresna Arfana)