Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/2). Agenda sidang perkara Nomor 8/PUU-XV/2017 adalah perbaikan permohonan.
Sebelumnya, Rusdi serta Arifin Nur Cahyono yang berprofesi sebagai sopir menguji ketentuan Pasal 38 dan penjelasannya, serta Pasal 55 UU Telekomunikasi. Para pemohon menilai unsur ‘setiap orang’ atau ‘barang siapa’ dalam Pasal 38 UU Telekomunikasi tidak memberi pemisahan unsur -unsur subyektif dari perbuatan pidana yang dapat dikualifikasi sebagai delik kesengajaan (dolus) dan delik kealpaan (culva).
Pasal 38 UU Telekomunikasi menyatakan:
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 55 UU Telekomunikasi menyatakan:
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Penjelasan Pasal 38 UU Telekomunikasi menyatakan:
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa : a. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; b. tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya; c. penggunaaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku; d. penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi Iainnya; atau e. penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan telekomunikasi.
Dalam sidang perbaikan permohonan, Kuasa Hukum Pemohon Budi Satria Dewantoro menyampaikan telah memperbaiki bagian redaksional dan menghapus contoh kasus yang sebelumnya dilampirkan “Kemudian di halaman 16, atas nasihat dan pendapat Yang Mulia, kami hapuskan. Sekaligus mencabut dan membatalkan bukti P-15a dan P-15b,” katanya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu, Budi menambahkan dalil terkait ketentuan Pasal 38 dan Pasal 55 UU Telekomunikasi yang mengatur ketentuan pidana. Menurut pemohon, rumusan ketentuan tersebut melanggar asas legalitas yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Norma tersebut dinilai berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang oleh hakim kepada masyarakat karena memberikan kebebasan yang sangat luas untuk menjatuhkan sanksi terhadap orang yang didakwa.
\"Untuk petitum, karena provisi kami masih sampaikan, dalam provisi menghentikan untuk sementara segala upaya perubahan atau revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telokomunikasi dan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,” jelasnya.
Dalam sidang perdana, pemohon menilai frasa ‘tidak dapat berfungsi sebagai mestinya’ dan frasa ‘tidak berjalan sebagaimana mestinya’ tidak jelas penafsirannya, apakah bersifat tetap atau sementara. Lebih lanjut, Pasal 38 dan Pasal 55 UU Telekomunikasi dianggap pemohon mengabaikan dan menyalahi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011).
Terakhir, menurutnya, Pasal 38 UU Telekomunikasi dirumuskan secara samar-samar, tidak jelas dan rinci tentang perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Selain itu, pengertiannya terlalu luas dan rumit. “Khususnya frasa ‘melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik terhadap pelenyelenggaraan telekomunikasi’. Ini berpotensi disalahgunakan oleh penyelenggara telekomunikasi maupun aparatur penegak hukum,” katanya menegaskan.
(ars/lul)