Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) yang diajukan dua guru yang mengalami kriminalisasi kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perbaikan permohonan perkara dengan No. 6/PUU-XIV/2017 digelar pada Selasa (7/2). Dasrul dan Hanna Novianti yang mengalami kriminalisasi tersebut menguji beberapa pasal, yaitu Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, dan Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen.
M. Jodi Santoso selaku kuasa hukum memaparkan perbaikan permohonan. Pemohon memperkuat dalil permohonan dengan menekankan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Menurutnya, kedua pasal tersebut mengesampingkan prinsip ultimum remedium terkait substantif dalam hukum pidana serta bertabrakan dengan prinsip-prinsip umum pendidikan. “Hal tersebut didukung dengan beberapa fakta kriminalisasi yang dilakukan oleh masyarakat atau orang tua terhadap para pemohon dan beberapa guru, yang berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Kriminalisasi, imbuh Jodi, merupakan bukti multitafsir kedua pasal tersebut dan berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Hukuman fisik yang dibenarkan jika dilakukan secara wajar dan akan berguna dalam mendidikan dan mendisiplinkan anak. Oleh karena itu, menurutnya, pengaturan mengenai kekerasan dalam 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak tidak seharusnya diterapkan dalam lingkungan sekolah. Hal tersebut, lanjutnya, karena sekolah dilindungi oleh doktrin sovereign immunity dan juga adanya peraturan sekolah dan komite sekolah yang terdiri dari wali murid dan guru yang mengatur dan mengawasi hubungan para pihak dan aktivitas di sekolah.
“Bahwa dari uraian di atas dengan jelas bahwa Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a dan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 merupakan ketentuan yang multitafsir dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujarnya.
Dalam sidang sebelumnya, pemohon mendalilkan mengalami ketidakpastian hukum dan merasa tidak diperlakukan adil sehingga menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan. Selain itu, pemohon menilai tindakan kriminalisasi tersebut tidak adil karena guru seperti menghadapi dilema, di satu sisi harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah. Sementara di sisi lain, pemohon khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.
Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Para siswa nakal tersebut dapat dibiarkan saja karena guru tidak ingin mengambil resiko terkena masalah hukum. Ketidaktegasan guru berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswa-siswa yang nakal.
Menurut pemohon, guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud sehingga profesi guru perlu dijaga sebagai profesi yang bermartabat. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (LAP/lul)