Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan uji materiil Pasal 9 huruf a dan Pasal 22b huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (7/2). Pada Putusan Nomor 64/PUU-XIV/2016, MK menyatakan Ahmad Irawan, salah satu pemilih dalam Pilkada Kabupaten Tolitoli, tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Membacakan pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai pemohon tidak dapat menjelaskan kualifikasinya sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan kerugian bersifat spesifik atau setidaknya potensial akibat berlakunya norma yang dimohonkan.
Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian hak konstitusional pemohon sebagai warga negara Indonesia terkait hak untuk memilih dan dipilih. Terlebih lagi Pemohon tidak dapat membuktikan diri sebagai salah satu calon dalam pemilihan bupati di Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. “Artinya Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, pokok permohonan tidak dipertimbangkan MK,” tegas Wahiduddin.
Dalam sidang perdana, pemohon menyinggung keikutsertaan DPR dan pemerintah dalam urusan kekuasaan penyelenggara pemilu, khususnya pada penyusunan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dalam pasal yang diujikan, KPU dalam menyusun dan menetapkan PKPU serta pedoman teknis setiap tahapan pemilihan sebelumnya harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah. Menurutnya, ketentuan yang termaktub dalam Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a UU Penyelenggara Pemilu tersebut bertentangan dengan paradigma dan konsepsi negara hukum demokratis yang mensyaratkan adanya check and balance.
(ARS/lul)