Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (2/2) siang. Suhaellah dkk. selaku Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan dengan memperkuat dalil permohonan. Perkara yang dimohonkan terkait kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Suhaellah memperkuat dalil permohonannya dengan menjelaskan BPSK dibentuk dengan keputusan presiden yang biaya pelaksanaan tugasnya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah. Adapun BPSK Kabupaten Sukabumi dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 tertanggal 18 Oktober 2004.
“Mengacu pada tolok ukur konstitusional yang telah ditentukan Mahkamah melalui Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 tersebut, maka pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini,” ungkap Suhaellah dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XV/2017 yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto.
Terkait kedudukan hukum, Suhaellah menjelaskan pemohon sebagai badan hukum publik memiliki hak-hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlakuan yang adil dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kerugian hak konstitusional pemohon tersebut, lanjutnya, bersifat spesifik dan aktual, juga bersifat potensial yang dapat dipastikan akan terjadi karena berlakunya Lampiran UU Pemda pada Angka I huruf DD No. 5 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perdagangan. Ketentuan tersebut menyebutkan pelaksanaan perlindungan konsumen menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, di mana frasa pelaksanaan perlindungan konsumen telah ditafsirkan di dalamnya juga termasuk penganggaran tugas BPSK.
“Padahal penganggaran pelaksanaan tugas BPSK dilakukan oleh pemerintah daerah atau kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” tegas Suhaellah yang didampingi tim kuasa hukumnya.
Akibatnya, sambung Suhaellah, pemohon tidak dapat memberikan pelayanan pengaduan keliling dan pelaksanaan sidang di tempat sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Di samping itu, pemohon tidak dapat memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, khususnya di wilayah Kabupaten Sukabumi.
“Pemohon yang mengemban amanah sebagai pengadilan konsumen telah menjadi harapan masyarakat yang mendambakan penyelesaian sengketa dengan efisien, cepat, murah, dan profesional, tidak dapat melaksanakan tugas atau melindungi masyarakat dari perlakuan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab,” tandas Suhaellah.
Dalam sidang perdana, Suhaellah menilai BPSK lebih memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang berkapasitas sebagai konsumen, dalam memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan jasa yang beredar di masyarakat, dalam hal barang dan jasa yang beredar itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tujuan pembentukan BPSK, kata Suhaellah, sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.
Namun sejak berlakunya UU Pemda dalam lampirannya pada angka romawi I, huruf DD, nomor 5 khusus mengenai “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen” telah ditafsirkan termasuk didalamnya bahwa penganggaran pelaksanaan tugas BPSK diambilalih atau menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi.
Akibat pengambilalihan kewenangan penganggaran BPSK oleh pemerintah provinsi, keadaan BPSK Kabupaten Sukabumi untuk lebih melayani masyarakat Kabupaten Sukabumi sampai ke pelosok-pelosok desa tidak dapat dilaksanakan lagi. Sehingga pelayanan hukum yang diidamkan masyarakat dan selama ini diberikan kepada masyarakat menjadi terhenti.
(Nano Tresna Arfana/lul)