Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan menarik kembali permohonannya. Penarikan tersebut dilakukan dalam sidang lanjutan perkara Nomor 4/PUU-XV/2017, Kamis (2/2) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi.
“MK menerima Surat Nomor 013B.AI/II/2017, Perihal Penarikan Permohonan Perkara Nomor 4/PUU-XVI/2017. Atas Kuasa Hukum Ahmad Irawan, S.H. Jadi, bertindak atas nama klien Bapak Julkifli. Ya, melalui surat ini menarik kembali permohonan yang telah didaftarkan dan Registrasi Nomor 4/PUU-XIV/2017 yang telah diperiksa oleh MK melalui sidang pendahuluan,” jelas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku ketua panel.
Kuasa Hukum Pemohon Ahmad Irawan membenarkan hal tersebut. Penarikan permohonan dilakukan berdasarkan saran dan persetujuan pemohon prinsipal. “Setelah Sidang Pendahuluan, kami berdiskusi dengan prinsipal. Prinsipal berdiskusi dengan kami, akhirnya prinsipalnya menyetujui, Yang Mulia,” ujarnya.
Pemohon adalah seorang warga NTB bernama Julkifli. Dirinya berlatar belakang sebagai Ketua Perkumpulan Masyarakat Pemerhati Parlemen NTB. Pada sidang sebelumnya, Rabu (18/1), Kuasa Hukum Pemohon Ahmad Irawan menyatakan hak untuk mendapatkan lembaga perwakilan rakyat yang demokratis, efektif dan akuntabel hanya dapat direalisasikan bila terdapat kepastian terhadap masa jabatan pejabat pimpinan DPR RI, yakni bersifat tetap selama 1 (satu) periode dan tidak berganti-ganti tanpa alasan yang diterima hukum.
“Tanggal 16 Desember 2015 Setya Novanto yang mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Namun tiba tiba Setya Novanto dapat kembali lagi menjadi sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komaruddin baru-baru ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, pemohon juga mendalilkan paket yang bersifat tetap ditafsirkan jatah pimpinan DPR merupakan hak fraksi yang memenangkan proses pemilihan saat paripurna,. Hal tersebut demi kepastian hukum yang adil dan konsekuensi logis dari sifat pemilihan pimpinan.
“Jadi menurut pemohon, Pasal 84 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 17/2014 telah menciderai hak konstitusional Pemohon yang terdapat dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” katanya menegaskan.
(ARS/lul)