Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (Pasal 84 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (2)), Rabu (18/1). Pemohon Perkara No 4/PUU-XV/2017 diajukan Julkifli, Ketua Perkompulan Masyarakat Pemerhati Parlemen NTB.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, pemohon menyatakan pimpinan DPR dipilih melalui sebuah proses pemilu. Menurutnya, hak untuk mendapatkan lembaga perwakilan rakyat yang demokratis, efektif dan akuntabel hanya dapat direalisasikan bila terdapat kepastian terhadap masa jabatan pejabat pimpinan DPR. Pemohon menilai seharusnya jabatan pimpinan DPR bersifat tetap selama satu periode dan tidak berganti-ganti tanpa alasan yang diterima hukum.
“Tanggal 16 Desember 2015 Setya Novanto yang mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Namun tiba tiba Setya Novanto dapat kembali lagi menjadi sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komaruddin baru baru ini,” jelas Ahmad Irawan selaku kuasa pemohon.
Lebih lanjut, ujar Ahmad, Pemohon juga mendalilkan paket yang bersifat tetap ditafsirkan jatah Pimpinan DPR merupakan hak fraksi yang memenangkan proses pemilihan saat paripurna. Hal tersebut demi kepastian hukum yang adil dan konsekuensi logis dari sifat pemilihan pimpinan.
“Jadi menurut Pemohon, Pasal 84 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 17/2014 telah menciderai hak konstitusional Pemohon yang terdapat dalam Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” katanya menegaskan.
Nasihat Hakim
Usai mendengarkan paparan pemohon, Patrialis meminta pemohon melakukan penjelasan terkait komparasi dengan parlemen negara lain. Kaitannya dengan wewenang recall yang menjadi hak tiap partai bagi anggotanya yang duduk di parlemen. Sebab, hal tersebut menyangkut sistem perpolitikan dan juga sistem ketatanegaraan.
Lainnya, Patrialis juga menyinggung perkara dengan logika sederhana, yaknianggota parpol sejatinya menjadi tanggung jawab parpol secara institusi. Jadi kuasa parpol tak bisa dinafikan begitu saja.“Partai politik kan harus bertanggung jawab dengan orang yang diusulkan. Rasiologisnya kenapa seseorang menjadi anggota DPR harus diusulkan oleh partai politik? Supaya tidak liar kan?” ujarnya dalam nada retoris.
Sementara Hakim I Dewa Gede Palguna berpendapat legal standing Pemohon belum tajam. “Tolong dipisahkan antara uraian tentang dalam menjelaskan legal standing dengan uraian tentang alasan permohonan ,” jelasnya.
Legal standing, kata dia, menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya undang-undang. Sedangkan alasan permohonan adalah uraian yang berisi bahwa norma dalam UU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
(ARS/lul)