Mantan Ketua Komisi II DPR periode 2004-2009 Abdul Hakam Naja menyampaikan aturan terkait syarat calon gubernur dan calon wakil gubernur berpotensi melanggar hak asasi manusia. Ia menyampaikan potensi tersebut telah dibahas dalam Rapat Panja penyusunan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) pada 2011 lalu. Keterangan itu disampaikannya selaku ahli yang diajukan oleh DPD dalam sidang yang berlangsung Senin (30/1) di Ruang Sidang MK.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 88/PUU-XIV/2016 dimohonkan oleh delapan orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998.
Dalam keterangannya, Naja menyampaikan adanya pembahasan jika Pasal 18 ayat (1) UU KDIY akan dianggap melanggar hak asasi manusia. Ia mengungkapkan pembahasan saat itu mengacu Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Namun ia tidak mengungkapkan lebih lanjut kesimpulan dari adanya pembahasan tersebut.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan uji materiil UU KDIY. Diwakili oleh Syamsudin Slawat, PB NU selaku pihak terkait menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Ia menambahkan hal tersebut karena para pemohon bukan Sultan Hamengku Buwono maupun Adipati Paku Alam yang bertakhta.
“Karena untuk mengajukan permohonan yang terkait dengan Pasal 18 ayat (1) huruf m, maka seharusnya para pemohon juga memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c yaitu bahwa calon gubernur dan wakil gubernur adalah sultan yang bertakhta maupun adipati yang bertakhta,” ucapnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam permohonannya, Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY yang mengatur adanya kata “istri” dalam menyerahkan daftar riwayat hidup oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut dinilai tidak mencerminkan norma-norma dalam UUD 1945. (LAP/lul)