Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan kata ’dapat’ dalam ketentuan korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) inkonstitusional. Mahkamah menilai kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut menimbulkan banyaknya penafsiran yang hanya mengarah pada indikasi ‘potensi kehilangan’ (potential loss) sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah dalam Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016, Rabu (25/1) di ruang sidang pleno MK yang dimohonkan beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah menilai pencantuman kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu yang seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.
Sehingga, lanjut Anwar, seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi. Hal itu akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
Selanjutnya, Anwar menyampaikan kriminalisasi kebijakan terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata ‘dapat’ dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum. Untuk itu, menurut Mahkamah, pencantuman kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
“Selain itu, menurut Mahkamah kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” terang Anwar.
Ia juga menegaskan penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan.
Pendapat Berbeda
Terhadap putusan terseut, empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempatnya, yakni I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Aswanto dan Suhartoyo. Menurut keempatnya, dengan telah diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan, kekhawatiran kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan yang berupa kerugian negara, tidak beralasan. Palguna yang membacakan dissenting opinion tersebut menjelaskan, UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan perlindungan terhadap pejabat pemerintah apabila yang bersangkutan diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Sebab, menurut undang-undang a quo, terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sementara terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara, hal tersebut akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah. Ketentuan demikian jelas merupakan penegasan adanya bentuk perlindungan terhadap pejabat pemerintah. Dengan adanya mekanisme tersebut, aparat penegak hukum tidak serta-merta dapat mendalilkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah, termasuk ada atau tidaknya kerugian negara.
Sebelumnya, pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurut Pemohon, frasa ‘atau orang lain atau suatu korporasi’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, pemohon menyebutkan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat pemohon selalu diliputi rasa khawatir dalam mengambil setiap kebijakan/keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata ‘dapat’ dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara.
(Lulu Anjarsari/lul)