Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak uji materiil Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Rabu (25/1). Dalam putusan perkara Nomor 83/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah menilai permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim lainnya.
Hakim Konstitusi Aswanto, membacakan pertimbangan hukum, menyatakan masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, memaparkan keistimewaan Aceh, yang meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama; penyelenggaraan kehidupan adat; penyelenggaraan pendidikan; dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
“Jadi, ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak dapat dibandingkan dengan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan salah satu perwujudan kewenangan istimewa DIY. Lagi pula keistimewaan DIY diperuntukkan bagi jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, tidak termasuk untuk jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota,” katanya menegaskan.
Pemohon adalah warga Aceh bernama Darmili. Ia memandang Provinsi Aceh merupakan daerah istimewa dan khusus sebagaimana halnya Provinsi DIY. Tetapi sayangnya ada perbedaan perlakuan diantara kedua terutama dalam hal pemilihan kepala daerah.
Selain itu, menurut pemohon, ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU 11/2006 telah membatasi masa jabatan kepala daerah di Provinsi Aceh yang hanya selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan saja. Hal tersebut menurutnya berbeda dengan sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan di DIY, yakni masa jabatan gubernur yang tak berbatas.
(ARS/lul)