Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Djan Faridz dan Dimyati Natakusumah selaku Ketua dan Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mahkamah menilai keduanya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Demikian Putusan Nomor 93/PUU-XIV/2016 yang digelar Rabu (25/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia terkait erat dari dalil para pemohon sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP PPP yang sedang mengalami konflik kepengurusan partai politik. Karena itu, tidak dapat dipisahkan posisi para pemohon sebagai perorangan warga negara dengan posisi para pemohon dalam kepengurusan DPP PPP.
Mahkamah melalui beberapa putusan sebelumnya, telah memberikan pertimbangan hukum yang menyatakan partai politik yang turut serta membahas dan mengambil keputusan atas pengesahan suatu undang-undang di DPR tidak dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang dimaksud ke MK. Patrialis menambahkan pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian adalah pasal dan/atau ayat dalam UU 2/2011 dan UU 10/2016. Kedua Undang-Undang tersebut masing-masing dibahas dan disahkan pada tahun 2011 juga tahun 2016 dan PPP memiliki wakil di DPR yang ikut membahas rancangan undang-undang dimaksud hingga disahkan.
“Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan,” tandas Patrialis.
Sebelumnya, pemohon mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Pasal a quo menyatakan; “Jika masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia”.
Pemohon menjelaskan norma Pasal 40A ayat (3), khususnya frasa ‘dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM’, potensial pasti menimbulkan kerugian hak konstitusional pemohon, yaitu hak untuk memperoleh kepastian hukum yang adil menurut prinsip negara Indonesia yang menganut prinsip negara hukum. Menurut Pemohon, frasa tersebut memberikan pembenaran atas tindakan Kementerian Hukum dan HAM yang mengabaikan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tidak mendaftarkan Pemohon sebagai pengurus DPP PPP yang sah. Untuk itu, para pemohon berharap agar Mahkamah menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(Lulu Anjarsari/lul)