Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan uji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Putusan perkara Nomor 35/PUU-XIV/2016 yang diajukan Ibnu Utomo dkk. tersebut diucapkan Rabu (25/1) di ruang sidang pleno MK.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Mahkamah berpendapat permasalahan yang dikemukakan para pemohon adalah konflik internal mengenai kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang menurut para pemohon disebabkan ketidakjelasan Pasal 23 dan Pasal 33 UU Parpol.
Mahkamah menilai, sebagai perorangan warga negara Indonesia, para pemohon tidak memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan a quo. Sebab, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 23 dan Pasal 33 UU Parpol adalah ketentuan yang secara spesifik mengatur parpol, bukan mengatur hak perorangan warga negara Indonesia.
Seandainya permohonan tersebut dimaksudkan sebagai permohonan yang diajukan oleh pengurus parpol, Mahkamah berpendapat para pemohon harus membuktikan terlebih dahulu hak dan kewenangan para pemohon untuk mewakili parpol dalam pengajuan permohonan pengujian undang-undang.
“Bahkan seandainya para pemohon dapat mewakili PPP, tidak berarti Mahkamah dapat mengadili permohonan para pemohon. Sebab, Mahkamah telah berpendirian, sebagaimana telah dinyatakan dalam beberapa putusan terdahulu, bahwa parpol yang memiliki wakil di DPR telah ikut merancang, membahas, dan/atau mengesahkan rancangan undang-undang menjadi suatu undang-undang. Sehingga, partai politik bersangkutan tidak lagi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pertimbangan hukum demikian telah dinyatakan Mahkamah, antara lain dalam Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009, Putusan No. 73/PUU-XII/2014 bertanggal 29 September 2014, Putusan No. 85/PUU-XII/2014, bertanggal 24 Maret 2015 serta Putusan No. 35/PUU-XII/2014 bertanggal 26 Mei 2015. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Sebelumnya, para pemohon menguji ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi. Menurut pemohon, tidak adanya ketentuan dalam UU Parpol mengenai tindak lanjut penerbitan surat keputusan bagi susunan kepengurusan partai politik yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi. Dengan demikian, Pasal 33 ayat (2) UU Parpol menimbulkan multitafsir.
Akibat ketidakpastian penafsiran Pasal 33 ayat (2) UU Parpol, menurut pemohon, parpol tak lebih hanya akan menjadi alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana/lul)