Advokat Paustinus Siburian mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Senin (23/1) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut pemohon, undang-undang tersebut tidak memberikan pembatasan-pembatasan mengenai halal tidaknya suatu produk, baik menyangkut bahan maupun proses produksi.
Dalam sidang perkara Nomor 5/PUU-XV/2017, Siburian menguji Diktum huruf b, Pasal 1 ayat (1) dan (2), Pasal 3 huruf a, Pasal 4, dan Pasal 18 ayat (2) UU Jaminan Produk Halal. Pemohon menjelaskan poin-poin alasan permohonan. Pertama, menurutnya, tidak tepat jika pembentuk undang-undang menyusun undang-undang tersebut untuk masyarakat. Sebab. pemohon adalah anggota masyarakat yang tidak diwajibkan untuk mendapatkan jaminan produk halal.
“Seharusnya undang-undang menyebutkan dengan tegas yang menjadi sasaran yaitu umat Islam atau konsumen muslim seperti dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Selanjutnya, ia menjelaskan produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan harus bersertifikat halal (sudah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, red). Pengertian yang demikian menurutnya akan berdampak suatu produk yang dibeli di luar negeri untuk penggunaan akhir di Indonesia tidak perlu bersertifikat halal karena tidak beredar dan diperdagangkan. Selain itu, menurutnya, dapat juga ditafsirkan pemesanan secara online untuk penggunaan akhir tidak wajib bersertifikat halal. Demikian juga halnya untuk hadiah.
“Selain itu, digunakannya kata ‘selain’ dalam Pasal 18 ayat (2) membawa pada ketidakpastian. Ditambah lagi tidak terdapat kejelasan mengenai definisi dari syariat Islam,” katanya menegaskan.
Adapun Pasal 18 ayat (2) UU Jaminan Produk Halal menyatakan,
“(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. (2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.”
Masukan Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon mempertajam kerugian konstitusionalnya. “Ini bukan sekadar kerugian materiil, ya. Bisa saja awal masuknya adalah adanya kerugian materiil, tapi kerugian konstitusional Saudara,” jelasnya.
Selanjutnya, menurut Wahiduddin, persoalan yang diujikan adalah persoalan implementasi. Sebab, undang-undang tersebut seharusnya banyak peraturan pelaksanaannya. “Saat ini peraturan pelaksanaanya memang belum lengkap. Namun lembaga badan penjamin jamin halal sudah ada lembaganya di Kementerian Agama,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon memperbaiki sistematika permohonannya. “Mengenai kedudukan hukum juga jangan terlalu panjang. Kemudian, kerugian konstitusional mesti diperjelas. Sebab penting sebagai pintu masuk untuk menentukan pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak,” jelasnya.
(arif/lul)