Kata ‘makar’ dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dipermasalahkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Pengurus ICJR Syahrial Wiriawan Martanto bersama rekan-rekannya menguji Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b dan 140 KUHP. Sidang perdana perkara Nomor 7/PUU-XV/2017 digelar Selasa (24/1) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 87 UU No. 1/1946 menyebutkan, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.”
Pasal 104 UU a quo berbunyi, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Erasmus Napitupulu selaku kuasa hukum pemohon menilai tidak ada kejelasan dari definisi kata ‘makar’ dalam KUHP yang merupakan terjemahan dari kata ‘aanslag’.
“Makar bukan bahasa Indonesia yang dipahami. Makar berasal dari bahasa Arab. Sedangkan aanslag artinya serangan. Tidak jelasnya penggunaan frasa aanslag yang diterjemahkan sebagai makar, telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag,” ujar Erasmus kepada Majelis Hakim Panel MK yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Dikatakan Erasmus, tidak disertai definisi dari penerjemahan aanslag sebagai makar dalam KUHP merupakan hal yang tidak tepat. Sebab aanslag dalam bahasa Belanda merupakan perbuatan serangan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, makar menunjukkan kata sifat atau ekspresi niat yang tanpa serangan.
Istilah makar mencuat belakangan, setelah polisi menangkap 12 aktivis terkait aksi “212” pada 2 Desember 2016 yang melakukan demo terkait dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Para aktivis diduga melakukan permufakatan makar, ungkapan kebencian dan penghasutan. Polisi menjerat beberapa orang dengan pasal makar berdasarkan KUHP.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan kuasa hukum pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti kedudukan hukum pemohon. “Pada bagian legal standing pemohon belum kelihatan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Saudara kan mengajukan permohonan atas nama perkumpulan. Sehingga mestinya, Saudara mengelaborasi kerugian-kerugian konstitusional yang muncul atau yang dialami, atau potensial untuk dialami menurut penalaran yang wajar bahwa itu akan terjadi karena adanya norma-norma yang Saudara mohonkan untuk diuji,” ujarnya.
Aswanto menyarankan agar pemohon mengelaborasi lebih lanjut permohonannya. hal tersebut agar Majelis Hakim lebih mudah menangkap kerugian konstitusional yang dialami pemohon sebagai perkumpulan atas diberlakukannya norma yang diujikan.
Sementara, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mempertanyakan makna ‘serangan’ dalam permohonan pemohon. “Serangan itu yang bagaimana pula? Begitu. Serangan itu bisa pakai senjata atau dengan hanya kata-katakah? Atau hanya dengan pergerakan sajakah? Nah itu menjadi pertanyaan. Jadi, mohon coba dicari dahulu yang tepat itu kira-kira apa maknanya,” ujar Manahan.
(Nano Tresna Arfana/lul)