Penundaaan proses minutasi perkara akibat administrasi birokrasi yang berlebihan dapat menimbulkan justice delay (menunda keadilan). Hal tersebut akan merugikan para pihak yang berperkara dan masyarakat pencari keadilan. Demikian disampaikan Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dalam sidang sidang uji materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya sebagai ahli yang dihadirkan pemohon, Bagir menilai menunda-nunda penyelesaian perkara akibat birokratisasi yang berlebihan akan mengakibatkan tidak terwujudnya keadilan. Birokratisasi yang berlebihan, menurutnya, akan menimbulkan inefisiensi dan inefektifitas yang akan berujung pada hambatan memperoleh peradilan. Padahal, keadilan dan efisiensi harus selalu berkaitan. Ia pun menilai pasal yang diujikan oleh pemohon merupakan ketentuan yang membelenggu.
“(Hal ini) karena selain dapat terkena ungkapan ‘justice delay, justice denied’, tidak kalah penting sangat bertentangan dengan penyelenggaraan peradilan kita yang harus diselenggarakan berdasarkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ungkapnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Bertentangan dengan Prinsip Lex Certa
Sementara Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy O.S. Hiariej yang juga ahli pemohon menyampaikan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidak memberikan kepastian hukum. Ia menjelaskan pasal tersebut hanya mengatur bahwa surat pemidanaan harus memuat syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Akan tetapi, lanjutnya, pasal tersebut tidak menjelaskan rinci mengenai definisi surat putusan pemidanaan.
“Dalam pasal a quo adalah putusan pemidanaan pada pengadilan negeri, atau meliputi seluruh tingkatan pengadilan, termasuk pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan prinsip lex certa (rumusan ketentuan pidana harus jelas, red) dalam hukum acara pidana,” ujarnya.
Ia menyebut ketidakpastian akibat Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut menyebabkan MA mengalami kendala saat proses minutasi putusan perkara-perkara yang diajukan. Sebab, MA harus mencantumkan kembali seluruh fakta-fakta persidangan, termasuk dakwaan serta seluruh bukti-bukti, keterangan saksi-saksi, keterangan para ahli yang notabene telah dicantumkan dalam putusan pengadilan negeri. Akibatnya, proses minutasi perkara menjadi sangat lama dan tidak ada kepastian hukum kapan akan selesai diperiksa. “Bahkan kualitas pertimbangan majelis hakim menjadi tidak maksimal karena terlalu fokus mencantumkan seluruh syarat-syarat tersebut,” terangnya.
Pada sidang perdana, sejumlah advokat selaku pemohon merasa keberatan dengan berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang syarat materi yang terdapat dalam surat putusan pemidanaan. Menurut para pemohon, syarat materi tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap jangka waktu penyelesaian sebuah perkara mengingat banyaknya materi yang harus dicantumkan. Apalagi MA menerapkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP pada setiap tingkatan peradilan, termasuk tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
Dampak langsung yang dirasakan para pemohon adalah tidak dapat memberikan pelayanan jasa hukum secara efektif dan efisien kepada masyarakat pencari keadilan dan dianggap tidak profesional karena tidak dapat memberikan informasi/kepastian kepada klien kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung.
(Lulu Anjarsari/lul)