Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 38, Pasal 55 dan Penjelasan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Selasa (24/1). Dalam sidang perkara Nomor 8/PUU-XV/2017 tersebut, pemohon mempersoalkan pemidanaan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 38 UU Telekomunikasi menyebutkan,
“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.”
Pasal 55 UU Telekomunikasi menyebutkan,
“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 38 UU Telekomunikasi menyebutkan,
“Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa : a. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; b. tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya; c. penggunaaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku; d. penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi Iainnya; atau e. penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan telekomunikasi.”
Pemohon adalah Rusdi serta Arifin Nur Cahyono yang berprofesi sebagai sopir. Diwakili Budi Satria Dewantoro selaku kuasa kuhum, pemohon menilai unsur ‘setiap orang’ atau ‘barang siapa’ dalam Pasal 38 tidak memberi pemisahan unsur -unsur subyektif dari perbuatan pidana yang dapat dikualifikasi sebagai delik kesengajaan (dolus) dan delik kealpaan (culva).
“Selain itu juga tidak menjelaskan dengan terang apakah yang dimaksud dengan frasa ‘tidak dapat berfungsi sebagai mestinya’ dan frasa ‘tidak berjalan sebagaimana mestinya’ bersifat permanen ataukah hanya sementara, dan apakah kerusakan berat atau ringan,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Lebih lanjut, Pasal 38 dan Pasal 55 dinilainya mengabaikan dan menyalahi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Pemohon juga menilai ketentuan tersebut melanggar asas-asas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011, yaitu asas ketertiban dan kepastian hokum.
Terakhir, menurutnya, Pasal 38 dirumuskan secara samar-samar, tidak jelas dan rinci tentang perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Selain itu, pengertiannya terlalu luas dan rumit. “Khususnya frasa ‘melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik terhadap pelenyelenggaraan telekomunikasi’. Ini berpotensi disalahgunakan oleh penyelenggara telekomunikasi maupun aparatur penegak hukum,” katanya menegaskan.
Masukan Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan format sistematika permohonan sudah baik. Meski demikian, legal standing pemohon harus lebih dipertajam. “Poin kerugian potensial dan aktual mesti lebih dieksplorasi,” jelasnya.
Senada, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebut permohonan pemohon sudah cukup baik. Namun, Suhartoyo menilai bagian pendahuluan sebaiknya dihilangkan. “Kalau esensinya sama dengan alasan permohonan, maka lebih baik digabung saja,” ujarnya.
Sidang berikutnya akan digelar Senin (6/2) pukul 14.00 dengan agenda perbaikan permohonan.
(arif/lul)