Gagasan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi pertama kali di Indonesia sudah tercetus di masa kemerdekaan. Pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Mohammad Yamin menyampaikan agar Balai Agung (Mahkamah Agung) diberikan wewenang membanding undang-undang.
“Tetapi Soepomo tidak setuju dengan usulan itu. Karena UUD 1945 tidak menganut prinsip trias politica atau pemisahan kekuasaan, namun pembagian kekuasaan. Lain hal, di masa itu belum banyak sarjana hukum yang mempunyai kompetensi, kemampuan untuk melakukan pembandingan undang-undang. Akhirnya usulan Yamin ditolak,” ujar Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan TIK MK Noor Sidharta saat menerima kunjungan 48 mahasiswa dan 2 dosen Program Magister Hukum Universitas Lancang Kuning Riau ke MK, Senin (23/1).
Beberapa tahun kemudian, seiring dengan terjadinya reformasi politik di Indonesia pada 1998, muncul sejumlah tuntutan. Salah satunya, tuntutan perubahan UUD 1945. Beberapa kesepakatan pun dibuat setelah perubahan UUD 1945. Di antaranya, UUD 1945 boleh diubah kecuali di bagian pembukaan. Juga tetap mempertahankan pasal yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertegas sistem presidensil dalam pemerintahan Indonesia.
Dikatakan Sidharta, pasca reformasi ada beberapa lembaga negara baru dibentuk dan lembaga negara yang dihilangkan. Misalnya, muncul Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan lembaga negara yang dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Selain itu, struktur ketatanegaraan Indonesia pun berubah. Dulu MPR memberikan mandatnya kepada tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kedudukan lembaga negara itu sama. MPR, DPR, DPD mewakili legislatif, MK dan MA ditambah KY berada di kekuasaan yudikatif, dan Presiden berada di kekuasaan eksekutif.
Dengan demikian, kata Sidharta, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Tidak ada lagi pengelompokkan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi. “Jadi, sekarang semua disebut sebagai lembaga tinggi negara atau orang biasa menyebutkan dengan lembaga negara. Hal lainnya, lembaga negara di Indonesia bertindak secara checks and balances karena mereka berada pada level yang sama,” paparnya.
Lebih lanjut Sidharta menerangkan lima wewenang MK Republik Indonesia. Kewenangan pertama adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan berikutnya, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kemudian MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
“Pilkada itu sebetulnya bukan wewenang MK, tapi kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Pemerintah Daerah. DPR pun membuat undang-undang baru yang menyatakan akan ada lembaga khusus yang menangani sengketa pilkada di Indonesia. Namun sampai saat ini sengketa pilkada masih ditangani MK, sambil menunggu dibentuknya lembaga khusus penanganan sengketa pilkada,” urai Sidharta yang didampingi Ketua Program Magister Hukum Universitas Lancang Kuning Riau, Ardiansyah.
Selanjutnya, sambung Sidharta, MK berwenang memutus pembubaran parpol. Namun, MK belum pernah menggunakan wewenang tersebut karena belum ada parpol yang mengajukan gugatan ke MK. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum.
Dijelaskan Sidharta, MK terdiri dari 9 orang hakim yang diusulkan oleh Presiden, DPR, dan MA. “Bukan berarti hakim-hakim MK yang dipilih itu merupakan orang-orangnya Presiden, orang-orangnya DPR, dan orang-orangnya MA. Tapi proses pemilihan hakim MK dilakukan melalui seleksi panitia seleksi dari masing-masing lembaga negara tersebut,” ucap Sidharta.
(Nano Tresna Arfana/lul)