Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Pasal 61 ayat (1) dan (2) dan Pasal 64 ayat (1) dan (5)), Senin (23/1). Agenda sidang perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengar keterangan saksi pemohon.
Hadir dalam persidangan para saksi yakni Lambok Manurung, Rosni Simarmata, Warjo, dan, Kalendi Nggalu Amah. Seluruh saksi merupakan penganut aliran kepercayaan yang merasa terdiskriminasi dengan dikosongkannya kolom agama di KTP mereka.
Mengawali kesaksiannya, Rosni menceritakan peristiwa yang menimpa anaknya saat melamar pekerjaan. Ketika wawancara, ia ditanya mengenai agamanya lantaran tidak tertera di KTP. “Anak saya menjawab agamanya adalah kepercayaan dan dinyatakan gugur. Bagi saya ini sikap yang diskriminatif,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara, Lambok menyampaikan pengalaman saat mengurus pembuatan KTP dan Kartu Keluarga. Menurutnya, terdapat diskriminasi pelayanan publik terkait pengisian kolom agama di dua identitas tersebut. “Saya sendiri di KTP agama saya tertulis kepercayaan, di KK saya kosong. Anak saya sendiri dua orang yang sudah punya KTP tidak ada tertulis alias kosong,” akunya.
Warjo dan Kalendi pun serupa. Keduanya bersaksi tentang sikap diskriminasi yang diterima, yakni tidak dicantumkannya ‘kepercayaan’ dalam kolom agama pada KTP. “Yang kami harapkan dari Majelis Hakim pada hari ini, yaitu yang menjadi pertimbangan kami, sehingga kita pelayanan publik tidak berbeda-beda,” jelas Kalendi.
Pemohon adalah Nggay Mehang Tana dkk yang merupakan penganut kepercayaan. Menurut Pemohon, Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut Pemohon, mengakibatkan Pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga hal ini jelas melanggar hak asasi manusia. Sedangkan hak-hak dasar tersebut diatur dan dijamin dalam UUD 1945.
Adapun bunyi Pasal 61 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan menyebutkan, “Kartu Keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor Kartu Keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua.”
Sedangkan Pasal 61 ayat (2) UU a quo berbunyi, “Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
(arif/lul)