Kasus kriminalisasi terhadap guru memicu dua orang pendidik mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Sidang perdana perkara dengan Nomor 6/PUU-XIV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (27/1). Dasrul dan Hanna Novianti yang mengalami kriminalisasi tersebut menguji beberapa pasal, yaitu Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, dan Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen.
Diwakili M. Jodi Santoso selaku kuasa hukum, pemohon menjelaskan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan.
Lebih lanjut, pemohon memaparkan telah dianggap melakukan kekerasan ketika mendidik siswanya sehingga orang tua dan masyarakat mengategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM. Padahal, menurut pemohon, guru bermaksud melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan.
“Orang tua siswa melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga seringkali guru tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap profesinya,” papar Jodi.
Misalnya, Dasrul yang merupakan pengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar yang dipukul orangtua murid, Adnan Achmad karena merasa anaknya mendapat kekerasan darinya. Sehingga, Dasrul menilai, penegakan kedisiplinan dengan cara hukuman menjadi tidak wajar dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia. Sehingga orang tua murid akan melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai sebuah bentuk kekerasan.
“Akibat adanya pasal-pasal a quo, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah. Bahwa seharusnya guru dalam menjalankan tugas sebagaimana diamantkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen tersebut mestinya tidak dikriminalisasi dan dipidanakan,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati tersebut.
Pemohon menilai permohonannya memiliki urgensi untuk dikabulkan oleh Mahkamah. Sebab, penegakan hukum dalam kasus kekerasan guru terhadap muridnya, tidak dijalankan secara substantif sejak tingkat penyelidikan sehingga guru langsusng dikriminalisasi ketika ada laporan, meskipun diketahui bahwa tindakan guru tersebut dilakukan dalam pelaksanaan tugasnya untuk mendidik. Para pemohon pun menilai pasal-pasal tersebut tidak sejalan dengan UU Guru dan Dosen yang melindungi profesi guru ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan (2).
Pemohon menilai tindakan kriminalisasi tersebut tidak adil karena guru seperti menghadapi dilema. Di satu sisi harus menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah, sementara di sisi lain, pemohon khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau LSM pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak. “Dampak dari dilema tersebut, akhirnya guru menjadi kurang tegas terhadap siswa yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah,” imbuhnya.
Ketidaktegasan guru, lanjutnya, berdampak terhadap semakin rendahnya wibawa guru di hadapan siswa, khususnya di kalangan siswasiswa yang nakal. Padahal, pemohon menilai guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, khususnya bidang pendidikan. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Saran Hakim
Majelis hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan I Dewa Gede Palguna memberikan saran perbaikan terhadap permohonan tersebut. Maria meminta agar pemohon menguraikan kerugian konstitusional yang dialami karena dalam permohonan hanya terurai persoalan konkret yang terjadi. “Anda boleh mengajukan kasus-kasus konkret untuk mendukung judicial review ini, tapi Anda harus menjelaskan kenapa pasal-pasal ini bertentangan dengan konstitusi,” paparnya.
Serupa dengan Maria, Palguna menegaskan bahwa persoalan implementasi tidak dapat diajukan ke MK. Selain itu, Palguna menilai adanya inkonsistensi dalam permohonan pemohon yang meminta pembatalan UU Guru dan Dosen, namun dalam dalilnya, pemohon menyatakan bahwa undang-undang tersebut sudah melindungi.
“Ini sama sekali tidak menjelaskan pertentangan norma. Justru pengakuan dari Saudara sendiri yang mengatakan bahwa guru dan dosen sudah terlindungi. Bagaimana coba kalau Anda ini? Jadi, kalau persoalan implementasi, bukan di MK tentu tempatnya. Itu adalah persoalan praktik di lapangan. Pembelaan hukum di waktu Anda membuat argumentasi atau ketika seorang guru yang menurut Saudara dikriminalkan. Di situlah yang tidak kuat misalnya. Tidak berhasil membuktikan bahwa kami bukan melakukan kekerasan,” terangnya.
Palguna menambahkan bahwa logika permohonan pemohon menjadi rancu. Kasus konkret yang dialami pemohon, lanjutnya, sama sekali tidak berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal yang dialami pemohon. Untuk itu, Palguna meminta agar pemohon menimbang kembali permohonannya. (Lulu Anjarsari/lul)