Adanya sanksi hukum bagi para pelaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) merupakan bagian upaya perlindungan bagi masyarakat. Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia Aliah B. Purwakania dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digelar Kamis (19/1).
Dalam keterangannya, Aliah yang menjadi saksi PERSISTRI menjelaskan dalam ilmu psikologi, pemberian hukuman merupakan upaya untuk mendukung upaya preventif. Selain itu, lanjutnya, pemberian hukuman secara teoritis dapat menurunkan perilaku dan pendidikan itu akan lebih kuat jika ada konsekuensi yang jelas. Ia juga memaparkan pemberian hukuman akan menghindari potensi kriminalisasi para pendidik karena ketidaksetujuan terhadap massa LGBT.
“Hukuman terhadap perzinaan itu bisa dilakukan dan sebetulnya itu yang kita harapkan. Kemudian juga kita juga bisa belajar pada kasus narkoba, bagaimana tentang pemberian hukuman pada LGBT,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Sementara, ahli yang dihadirkan YLBHI, yakni Ahmad Sofian, menyampaikan hal berbeda. Dalam keteranganya, akademisi pada Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara tersebut menerangkan KUHP mengambil posisi pada perlindungan pernikahan atau perlindungan keluarga. Ia juga mengungkapkan KUHP memberikan perlindungan atas ikatan lahir batin sehingga ketika salah satu pihak melakukan perbuatan menyimpang (zina, red.), maka KUHP memberikan peluang bagi salah satu pihak untuk menuntutnya. Namun ia menekankan bahwa tuntutan tersebut bersifat tidak mutlak. “Dan sangat ditentukan oleh salah satu pasangan yang dinilai menjadi korban dan bukan orang lain yang bisa mengadukan itu. Perlindungan terhadap pernikahan atau keluarga merupakan filosofis dipidananya perbuatan zina,” jelasnya.
Ia menambahkan sebuah pandangan hukum pidana yang menyebut zina atau delik-delik kesusilaan dalam hukum pidana harus berhenti ketika berada di depan pintu kamar. Menurutnya, hal tersebut yang menjadi landasan filosofis disusunnya pasal yang diujikan para pemohon. Adanya ranah privat, lanjutnya, sehingga ia menyebut negara tidak perlu ikut campur terlalu jauh. Begitupula mengenai hubungan LGBT antara orang dewasa, yang dinilai Sofian tidak perlu diintervensi.
“Saya tidak ingin menjustifikasi persoalan-persoalan yang muncul, tetapi lebih kepada bagaimana sebenarnya hukum pidana itu berfungsi dan digunakan dalam rangka memastikan nilai-nilai moral suatu bangsa ada di dalam hukum pidana? Tetapi, nilai-nilai moral itu tidak selamanya harus dipaksakan dalam hukum pidana dan negara bertindak untuk memastikan bahwa warga negaranya patuh dan tunduk kepada moral-moral yang ada tersebut,” tandasnya.
Permohonan yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Para pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (Lulu Anjarsari/lul)