Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Rabu (18/1). Pemohon Perkara No. 3/PUU-XV/2017 adalah Suhaellah, Reni Setiawati, Susi Marfia, tiga wanita asal Sukabumi sebagai anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sukabumi.
Dalam persidangan, pemohon menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Pemohon mengatakan, lampiran Undang-Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada angka romawi I, huruf DD, nomor 5 tidak jelas, dan bersifat multitafsir.
Menurut Suhaellah, BPSK lebih memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, khususnya yang berkapasitas sebagai konsumen dalam memakai, menggunakan, dan/atau memanfaatkan barang dan jasa yang beredar di masyarakat, dalam hal barang dan jasa yang beredar itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Kehadiran BPSK dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana negara telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk BPSK di daerah tingkat kabupaten atau kota,” ungkap Suhaellah salah seorang pemohon dalam sidang panel yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto.
Tujuan pembentukan BPSK, kata Suhaellah, sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.
Namun, dalam lampiran UU Pemda pada angka I, huruf DD, nomor 5 khusus mengenai “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen” telah ditafsirkan termasuk didalamnya penganggaran pelaksanaan tugas BPSK diambilalih atau menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi.
Akibat pengambilalihan kewenangan penganggaran BPSK oleh pemerintah daerah provinsi, keadaan BPSK Kabupaten Sukabumi untuk lebih melayani masyarakat Kabupaten Sukabumi sampai ke pelosok-pelosok desa tidak dapat dilaksanakan lagi. Sehingga pelayanan hukum yang diidamkan masyarakat dan selama ini diberikan kepada masyarakat menjadi terhenti.
“BPSK tidak dapat lagi menerima pengaduan masyarakat untuk ditangani dan diselesaikan karena anggaran bulan Oktober 2016 yang dibebankan kepada pemerintah daerah provinsi tidak direalisasikan. Bahkan, operasional BPSK pada bulan November 2016 dan bulan Desember 2016 untuk sementara dihentikan,” kata Suhaellah.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan penjelasan legal standing pemohon sebagai perseorangan warga negara harus dibuktikan. Kemudian pemohon perlu lebih menguraikan hak konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan tersebut.
“Sementara dalam alasan permohonan akan membuktikan ketentuan yang diuji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Mengapa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Misalnya mengapa dia bertentangan dengan hak atas kepastian hukum? Mengapa dia bertentangan dengan hak untuk mendapatkan hidup layak? Nah, itu harus dibangun argumentasi,” urai Palguna.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menasehati pemohon agar lebih mempertegas kedudukan hukum. “Legal standing memang perlu dipertegas, apakah Anda mewakili lembaga atau kantor? Atau atas nama perorangan? Kalau perorangan, sekarang yang dirugikan akses untuk mendapatkan keadilan itu siapa? Masyarakat atau Anda? Kalau Anda, mestinya secara kelembagaan. Kalau kelembagaan alangkah bagusnya mengatasnamakan lembaga BPSK Sukabumi,” pungkas Suhartoyo.
(Nano Tresna Arfana/lul)