Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana bagi perkara pertama tahun 2017 pada Selasa (17/1) di Ruang Sidang MK. Perkara dengan Nomor 1/PUU-XV/2017 tersebut menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dimohonkan oleh I Gede Gatot Binawarata.
Dalam permohonannya, pemohon yang merupakan perseorangan warga Indonesia, merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya untuk mendapatkan putusan yang adil dari Mahkamah Agung dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 23 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Terhadap Putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali”.
Pemohon menilai ketentuan tersebut membatasi hak konstitusional Pemohon untuk melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap Putusan Peninjauan Kembali Nomor 550 PK/Pdt/2000 yang merupakan peninjauan Kembali atas putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pdt/1990. Pemohon menilai, apabila pasal a quo dibatalkan, upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dalam perkara perdata dapat diajukan lebih dari satu kali sebagaimana dalam Peninjauan Kembali terhadap perkara pidana.
“Ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman merupakan pasal yang membatasi hak konstitusional warga negara Indonesia dalam melakukan upaya hukum peninjauan kembali apabila putusan peninjauan kembali yang telah dilakukan tersebut putusannya melanggar hak-hak konstitusional selama pasal a quo masih diberlakukan dan/atau tidak dibatalkan,” terang Afdaludin selaku kuasa hukum pemohon.
Untuk itulah, ia meminta kepada MK agar menyatakan ketentuan pasal 23 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Saran Perbaikan
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul memberikan saran perbaikan kepada pemohon. Manahan meminta agar pemohon memeriksa keberlakuan undang-undang yang diujikan. “Apa undang-undang yang diuji secara formil apa sudah benar? Apakah ada undang-undang baru terkait kekuasaan kehakiman? Harus dilihat apa sudah ada undang-undang baru?” tanya Manahan.
Terkait hal tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertegas undang-undang yang diujikan pemohon. Menurutnya, jika pemohon tetap mengajukan undang-undang tersebut, maka objek permohonan bisa keliru. “Kalau begini, objeknya jadi keliru ini. Walaupun pasal itu masih berlaku, tapi undang-undangnya kan berbeda, padahal namanya undang-undang perubahan,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/lul)