Aturan tentang perzinahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak sesuai dengan nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya perubahan terhadap aturan tersebut guna melindungi generasi bangsa.
Demikian keterangan yang disampaikan Guru Besar Universitas Islam Bandung Edi Setiadi ketika menjadi ahli yang diajukan PP PERSISTRI sebagai pihak terkait pada sidang uji materiil KUHP yang dimohonkan oleh beberapa LSM, Kamis (12/1) di ruang sidang MK. Setiadi menyampaikan perlu adanya perumusan kembali pasal yang merupakan peninggalan Pemerintahan Belanda tersebut dengan melakukan penyesuaian dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.
“Rumusan Pasal 284 KUHP, merumuskan kembali sebuah pasal peninggalan kolonial yang didasarkan kepada pandangan individualistik dan berasal dari sebuah bangsa penganut free sex, kemudian kita adopsi tetapi dengan penyelesaikan sesuai adat istiadat dan keluhuran bangsa adalah suatu tugas mulia dari Mahkamah ini,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Bencana Jiwa
Dalam kesempatan itu, hadir pula Ketua Yayasan Buah Hati Elly Risman yang juga menjadi ahli pihak terkait. Ia mengungkapkan beberapa dampak dengan ketiadaan sanksi hukum bagi para pelaku perzinahan. Menurutnya, perzinahan tidak hanya akan berdampak pada pasangan, namun pula pada anak-anak dan keluarga. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya aksi pencabulan hingga pelecehan seksual yang diakibatkan lemahnya peran keluarga sehingga anak mudah mengakses pornografi.
Selain itu, Elly mengungkapkan perzinahan memiliki korelasi negatif antara premarital sex dengan kestabilan hubungan seseorang. “Dan karena ini menimbulkan efek psikologis dan emosional jangka panjang terhadap pasangan dan anak-anaknya,” ujarnya.
Jika dibiarkan karena ketiadaan sanksi hukum, lanjutnya, maka bukan tidak mungkin kerusakan moral generasi bangsa akan meluas. Ia menyebut hal ini sebagai bencana jiwa yang telah menjadi pandemik hampir di 34 provinsi se-Indonesia.
”Zina dalam perkawinan adalah pandemi. Jadi, data kami menunjukkan temuan lapangan kami menunjukkan cabul sesama jenis bukan hanya orang dewasa dengan anak-anak, remaja sama remaja, dewasa ke dewasa, dewasa ke remaja, dewasa ke anak, remaja dengan remaja, remaja dengan anak, kadang-kadang sejenis, dan anak dengan anak. Seks bebas itu telah menimbulkan kejahatan seperti yang terjadi pada kasus Yuyun,” jelasnya.
Untuk itulah, lanjutnya, dibutuhkan perangkat hukum guna melakukan pencegahan dampak yang lebih luas lagi. Menurutnya, KUHP merupakan perangkat hukum lama yang harus disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Para pemohon memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut. (Lulu Anjarsari/lul)