Aturan yang mewajibkan pembayaran 50% pajak terutang sebagai syarat mengajukan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Pajak tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan dengan Nomor 133/PUU-XIII/2015 yang diucapkan Rabu (11/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan untuk seluruhnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat pajak merupakan sumber utama untuk pembangunan. Jika hukum acara di Pengadilan Pajak tidak mensyaratkan kewajiban membayar sebesar 50% pajak terutang sebagai jaminan, dapat dipastikan negara akan mengalami defisit. “Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, yang akibatnya negara tidak dapat mewujudkan cita-cita nasional yakni mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” paparnya membacakan putusan permohonan yang diajukan Likuidator PT. Textra Amspin Nizarman Aminuddin tersebut.
Suhartoyo menambahkan untuk kesinambungan proses pembangunan dan terwujudnya cita-cita negara tersebut, persyaratan membayar sebesar 50% pajak terutang sebagai jaminan untuk mengajukan keberatan/banding tidak menghalangi pemohon/wajib pajak di dalam mendapatkan proses keadilan. Hal tersebut, lanjutnya, dapat menjadi jalan tengah. Di satu sisi negara membutuhkan dana dari sektor pajak dan di sisi lain wajib pajak akan mendapatkan kompensasi bunga apabila keberatan/bandingnya dikabulkan.
Bahkan, lanjutnya, pemohon/wajib pajak akan mendapatkan keuntungan dengan hanya membayar jaminan sebesar 50% dari pajak terutang. Sehingga menurut Mahkamah tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak. “Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon bahwa Pasal 36 ayat (4) UU 14/2002 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” tuturnya.
Sementara terkait dengan aturan tidak dibolehkannya PK lebih dari satu kali, Mahkamah menilai pengaturan tersebut tidak terlepas dari landasan filosofis dibentuknya Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak secara adil, yang prosedur dan prosesnya dilakukan secara cepat (speedy trial) dan sederhana dengan biaya murah. Sementara, Putusan Pengadilan Pajak berisi langsung membatalkan atau meninjau kembali keputusan pihak instansi perpajakan, serta menghitung dan menetapkan kembali besarnya pajak terutang dari wajib pajak/ pemohon banding. Pihak fiskus tinggal melaksanakan putusan yang telah diambil oleh Pengadilan Pajak dan tidak boleh menyimpang dari apa yang diputuskan oleh Pengadilan Pajak karena putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Upaya hukum terakhir, Pemohon dapat mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
“Oleh karena itu, sangatlah kuat alasan untuk menyatakan bahwa Peradilan Khusus Pajak memerlukan hukum acara tersendiri yang berbeda dari hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga dengan demikian, dalil Pemohon bahwa Pasal 66 ayat(1) UU 14/1985, Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Pengajuan Banding sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak; ketentuan mengenai Penangguhan Pembayaran Pajak sebagaimana diatur dalam pasal II angka 1 UU Tata Cara Perpajakan. Selain kedua hal tersebut Pemohon juga menggugat ketentuan mengenai Pengajuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU MA serta Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Pemohon keberatan atas pengenaan pajak terhadap PT. Textra Amspin yang turut memperhitungkan aset pribadi Pemohon ke dalam aset perusahaan. (Lulu Anjarsari/lul)