“Mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan uji materi Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Putusan perkara No. 29/PUU-XIV/2016 diucapkan Rabu (11/1) di Ruang Sidang MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat kewenangan seponering yang diatur dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan tetap diperlukan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Namun, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung, MK memandang perlu dilakukan pembatasan yang ketat atas keberlakuan pasal tersebut supaya tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional maupun hak asasi manusia pada umumnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Daripenjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, diperoleh pemahaman bahwa (i) “kepentingan umum” diartikan sebagai “kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” dan “seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
Penjelasan tersebut, menurut Mahkamah, tidak menjelaskan lebih lanjut batasan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas sehingga dapat diartikan secara luas oleh Jaksa Agung selaku pemegang kewenangan seponering. Bahkan, Mahkamah menila kewenangan tersebut sangat rentan untuk diartikan sesuai kepentingan Jaksa Agung. Kendati dalam menerapkan seponering Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan menyatakan, “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”, saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara a quo seakan tidak mengikat.
\"Artinya, kewenangan melakukan seponering benar-benar menjadi suatu kewenangan penuh yang dapat diambil oleh Jaksa Agung,\" ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan hukum.
Oleh karena itu, Mahkamah perlu memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan sepanjang frasa “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” harus dimaknai, “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
Tafsiran tersebut, menurut Mahkamah, dibutuhkan agar ada ukuran yang jelas dan ketat dalam penggunaan kewenangan seponering oleh Jaksa Agung. Sebab, tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya kecuali Jaksa Agung itu sendiri, meskipun kecil kemungkinan hal itu dilakukan.
Selain itu, penafsiran tersebut perlu dilakukan oleh Mahkamah karena seponering berbeda halnya dengan penghentian penuntutan. Terhadap penghentian penuntutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, terdapat upaya hukum praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Wahiduddin.
Mengesampingkan Perkara Konstitusional
Sementara, Mahkamah memutuskan tidak dapat menerima perkara No. 40 dan 43 /PUU-XIV/2016. Mahkamah berpendapat, kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara konstitusional. Permasalahannya, kewenangan tersebut tidak bersifat absolut, sehingga disalahgunakan oleh Jaksa Agung. Karena itu, perlu ada pembatasan ketat atas pemberlakuan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Sehingga ke depan tidak akan terjadi pelanggaran atau bertentangan dengan hak-hak warga negara maupun hak asasi manusia pada umumnya yang dijamin UUD 1945.
\"Oleh karena tidak adanya penegasan pembatasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam norma Pasal 35 Huruf c UU No. 16/2004, maka dalam pertimbangan hukum Perkara No. 29/PUU-XIV/2015 tersebut yang mutatis mutandis juga dipergunakan untuk pertimbangan perkara a quo telah memberikan penegasan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004,\" jelas Wahiduddin.
Sebelumnya, Pemohon Perkara No. 29, yakni Irwansyah Siregar (Pemohon I) dan Dedi Nuryadi (Pemohon II) mengungkapkan bahwa mereka dan 4 orang teman lainnya adalah pelaku pencurian sarang burung wallet di Bengkulu dan telah menjalani hukumannya. Saat penangkapan terjadi penganiayaan. Pemohon I menerima tembakan, hingga cacat di bagian kaki.
Akibat kejadian tersebut, Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan di pengadilan terhadap oknum polisi yang melakukan penembakan. Berkas perkara ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri kota Bengkulu pada 29 Januari 2016. Namun Pemohon dikejutkan dengan munculnya surat Ketetapan Penghentian Penuntutan No. B-03/N.7.10/E.p.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut, dengan alasan tidak cukup bukti dan telah daluwarsa.
Pada 1 Maret 2016 para Pemohon mengajukan permohonan pra peradilan. Pemohon khawatir kalau permohonan praperadilannya pun akan berakhir dengan penghentian penuntutan karena tersangka dalam kasus ini masih aktif bekerja di KPK. Sehingga ada kemungkinan yang paling mungkin ditempuh oleh Jaksa Agung apabila penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah dalam putusan praperadilan, adalah dilakukannya pengesampingan perkara demi kepentingan umum sebagimana tercantum dalam Pasal 35 huruf c beserta penjelasan UU No. 16/2004.
Sementara itu Pemohon Perkara No. 40, Irjen. Pol. (Purn) Drs. Sisno Adiwinoto, MM dan Pemohon Perkara 43, Rahmad Sukendar mendalilkan definisi frasa “kepentingan umum” dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004 adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara menurut Penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004 merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
(Nano Tresna Arfana/lul)