Sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY), Rabu (11/1) di Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Ahli Tata Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta Kanjeng Pangeran Haryo Yudhohadiningrat. Ia hadir selaku ahli yang dihadirkan pemohon perkara Nomor 88/PUU-XIV/2016.
“Fakta sejarah bahwa Sultan Hamengkubawono I hingga Sultan Hamengkubawono X adalah laki-laki tidak bisa dijadikan landasan asumsi bahwa Kesultanan Ngayogyakarta menerapkan asas patrilineal dalam proses suksesinya,” kata Yudhohadiningrat kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Jika dicermati lebih lanjut, sambung Yudhohadiningrat, status dan kedudukan ibu calon pewaris takhta sangat berpengaruh dalam proses penentuan calon pewaris takhta. “Sebuah dokumen menegaskan bahwa putra laki-laki yang lahir dari garwo padmi atau permaisuri mendapat prioritas lebih tinggi daripada putra laki-laki yang lahir dari garwo ampean atau selir,” imbuhnya.
Dokumen itu berdasarkan sumber naskah perjanjian kontrak politik antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 18 Maret 1940 yang ditandatangani Gubernur Jenderal Lusian Adam dan Sri Sultan Hamengkubawono IX.
“Dengan ketentuan tersebut, status dan kedudukan ibu dari calon pewaris takhta tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan proses penentuan calon pewaris takhta menggunakan asas matrilineal,” ujarnya.
Bertolak dari kondisi tersebut, ungkap Yudhohadiningrat, bisa disimpulkan bahwa kedua asas baik patrilineal maupun matrilineal tidak bisa digunakan sebagai pendekatan dalam proses suksesi Keraton Yogyakarta. Proses suksesi di Keraton Yogyakarta menerapkan asas parental yang menekankan persamaan hak dan kewajiban antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Yudhohadiningrat menerangkan, dalam “Serat Puji” disebutkan bahwa utamanya raja itu pria. Tetapi ada pengecualian apabila dalam keadaan tertentu misalnya raja yang meninggal dunia tidak punya putra pria dan hanya memiliki anak perempuan, maka anak perempuan itu dapat diangkat menjadi ratu. Pernyataan tersebut diambil dari tulisan Prof. Siti Khamamah Suratno, Prof. Dr. Djoko Suryo, dan Prof. Munir Mulkhan dari Khazanah Budaya Keraton Yogyakarta.
Dengan demikian, ia menegaskan Pasal 18 ayat (1) huruf f Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang frasa ‘antara lain pekerjaan, istri, anak, dan saudara kandung’ tidak memiliki hubungan dengan persyaratan, atau penentuan raja, atau sultan bertakhta, termasuk dalam hal ini pengisian Calon Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Bahwa tata pemerintahan Keraton Yogyakarta tidak pernah menghalangi perempuan untuk menjadi raja. Mengapa justru seolah-olah undang-undang yang dibentuk malah membatasi hal tersebut. Saya yakin Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak membatasi hal tersebut,” tandas Yudhohadiningrat.
Sebagaimana diketahui, sebelas orang warga Yogyakarta dengan beragam profesi antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998 mengajukan uji materiil UU KDIY. Para pemohon mendalilkan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY yang meminta nama ‘istri’ dalam daftar riwayat hidup calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki untuk menjadi calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut dinili pemohon tidak mencerminkan norma–norma UUD 1945.
(Nano Tresna Arfana/lul)