Mahkamah Konstitusi (MK) menerima penghargaan Integritas Award 2016 sebagai lembaga peradilan yang modern dan terpercaya versi Majalah Integritas. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Pemimpin Redaksi Majalah Integritas Hendrik Aryanto Sinaga kepada Ketua MK Arief Hidayat.
Arief menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan masyarakat terhadap MK. Seperti dilansir dari Harian Kompas, Arief menjelaskan MK menduduki peringkat ketiga setelah Polri dan KPK dengan jumlah ketidakpuasan publik hanya sebesar 1,3%. “Penghargaan ini tidak membuat MK besar kepala melainkan justru memacu untuk meningkatkan kinerja lebih baik lagi,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Arief pun mengungkapkan bangsa Indonesia sedang mengalami kohesi sosial dan menuju ke arah low trust society. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya konflik kepentingan yang menurutnya bisa berujung pada rusaknya persatuan dan kesatuan NKRI. Untuk itu, semua lapisan masyarakat seharusnya saling bersatu mencapai visi dan misi seperti ketika the founding fathers dulu mendirikan NKRI. “Ada suasana kebatinan yang luhur dimiliki oleh the founding fathers, yakni high trust society. Sehingga bangsa yang heterogen disatukan oleh visi dan misi yang sama untuk mendirikan NKRI,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai perlunya mengamendemen kembali UUD, Arief menyampaikan hal tersebut tidak perlu dilakukan jika kultur hukum di masyarakat sudah dijalankan dengan baik. Lagipula, lanjutnya, amendemen UUD akan mempengaruhi aturan di bawahnya, padahal aturan-aturan sebelumnya saja belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat.
Arief pun menjelaskan MK memiliki tugas untuk menyosialisasikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan ideologi negara. Untuk itu, lanjutnya, MK mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi dengan tujuan agar masyarakat memahami Pancasila dan UUD 1945. Melalui Pusdik tersebut, MK menyebarluaskan pemahaman hak konstitusi warga negara dalam segala lini.
Kemudian mengenai banyaknya undang-undang yang diuji ke MK, Arief menyampaikan bukan berarti undang-undang yang dibuat tidak bagus. Namun masyarakat Indonesia sudah semakin paham terhadap hak konstitusionalnya. “Semakin banyak PUU yang masuk bukan karena undang-undang yang jelek, tapi masyarakat yang meningkat kesadarannya mengenai hak-hak konstitusionalnya. Dengan banyak yang diujikan, bukan berarti banyak yang dikabulkan. Hanya sekitar 10-20% undang-undang yang dikabulkan,” tegas Arief.
(Lulu Anjarsari/lul)