Kontrak Kerja Sama (KKS) atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat oleh pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dengan para kontraktor asing merupakan kontrak perjanjian dalam ranah hukum perdata. Meskipun kontrak kerja sama tersebut dilakukan pemerintah dengan perusahaan internasional, kontrak tersebut merupakan bentuk hubungan komersial pemerintah dengan perusahaan asing. Dengan demikian KKS tersebut tidak termasuk perjanjian internasional sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945, sehingga Pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk meminta persetujuan DPR dalam membuat KKS.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, saat menyampaikan keterangan tertulis Pemerintah pada sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), Rabu (19/9) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Purnomo, istilah Perjanjian Internasional seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945 adalah perjanjian internasional sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Wina tahun 1969 dan 1986 tentang Perjanjian Internasional, yakni treaty yang subyek hukumnya adalah negara dan organisasi internasional. Perjanjian Internasional tersebut harus ditafsirkan sebagai kewenangan Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya dengan politik luar negeri dan berhubungan dengan negara lain, jelas Purnomo.
Sebelumnya, para Pemohon uji materiil meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) serta Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 serta menyatakan materi muatan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Para Pemohon uji materiil UU Migas yang juga merupakan anggota DPR RI, menganggap Pasal 11 Ayat (2) UU Migas yang memuat ketentuan, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945, karena ketentuan tersebut menyebabkan Pemerintah c.q. BP Migas hanya wajib memberitahukan kepada DPR setiap KKS atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat dengan para kontraktor, terutama kontraktor asing. Menurut para Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan tersebut, sebagai Anggota dan/atau bagian dari DPR-RI mereka telah kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan persetujuan atas perjanjian KKS tersebut.
Terkait kedudukan para Pemohon yang juga merupakan anggota DPR, Purnomo menilai bahwa para Pemohon telah bertindak tidak konsisten dan ambigu. Di satu sisi para Pemohon adalah merupakan bagian dari pihak yang mempunyai kewenangan membuat dan mengesahkan undang-undang fungsi legislasi, sementara di sisi lain para Pemohon mempersoalkan produk undang-undang itu sendiri. Dengan mengajukan permohonan pengujian untuk membatalkan ketentuan a quo, maka sama saja para Pemohon ingin membatalkan putusan yang telah dibuatnya sendiri, tandasnya.
Lebih lanjut menurut Purnomo, mengingat status para Pemohon juga merupakan anggota DPR, ia menganggap mekanisme legislative review dipandang lebih bijaksana untuk dilakukan para Pemohon dibandingkan dengan mengajukan judicial review atau constitutional review. "Hal ini tentunya sangat berbeda jika para Pemohon kedudukannya sebagai warga negara biasa atau perseorangan Warga Negara Indonesia," imbuhnya.
Selain itu, Purnomo mengatakan bahwa Pemerintah menganggap dengan adanya ketentuan pada UU Migas tersebut, fungsi pengawasan atau controlling yang dimiliki oleh DPR tidak terhalang atau tidak terkurangi sedikit pun karena DPR tetap dapat melakukan kontrol dengan mekanisme rapat kerja dan hak untuk bertanya atau hak interpelasi apabila menganggap terjadi kesalahan dalam proses KKS yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pada akhir penjelasannya, Purnomo memohon agar Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Namun demikian, apabila Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon diputuskan dengan bijaksana dan seadil-adilnya, pungkasnya.
Lebih Adil
Menanggapi pernyataan Pemerintah yang menyarankan agar para Pemohon melakukan legislative review daripada judicial review, Zainal Arifin, salah seorang Pemohon Prinsipal menganggap proses legislative review terlalu lama dan pada akhirnya juga ditentukan oleh suara mayoritas. Kami melakukan judicial review untuk mencari sesuatu yang lebih adil, tambahnya.
Sementara terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi Achmad Roestandi yang menganggap UUD 1945 telah membedakan secara tegas antara hak DPR secara lembaga dengan hak perorangan anggota DPR, Pemohon Prinsipal lainnya Hendarso Hadiparmono menilai keberadaan suatu lembaga hanya berfungsi jika anggotanya ada, tanpa anggota maka lembaga itu tidak mungkin berfungsi. Dengan demikian menurut Hendarso, apabila hak-hak anggotanya dikurangi, maka tentunya DPR itu sendiri tidak mempunyai atau tidak memiliki kewenangan-kewenangan yang seharusnya dimilikinya.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang memimpin Majelis Hakim Konstitusi mengingatkan kepada para Pemohon dan Pemerintah apabila bermaksud mengajukan ahli agar benar-benar yang memahami hukum perjanjian internasional. Ketua MK juga meminta kepada para Pemohon dan Pemerintah untuk mengajukan ahli yang dapat menjelaskan mengenai legal standing, khususnya seperti yang dipraktikkan di negara lain. Hal tersebut menurut Ketua MK karena perkara ini merupakan kasus pertama di MKRI yang mana permohonan pengujian undang-undang diajukan oleh perorangan warga negara yang juga adalah anggota DPR. [ardli]