Pemerintah menilai tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak disebabkan oleh ketiadaan frasa “wajib dilaksanakan” dalam norma undang-undang. Akan tetapi, lebih disebabkan kurangnya kesadaran hukum di tengah masyarakat. Demikian disampaikan Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti, Selasa (10/1) di ruang sidang MK.
Dalam sidang ketiga uji UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi [Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47], UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman [Pasal 29 ayat (1)], dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan [Pasal 7 ayat (2) huruf l], Hariwanti menegaskan Pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan dan menindaklanjuti semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap termasuk putusan MK.
Ia pun menyampaikan apabila permohonan pemohon dikabulkan, tidak mempunyai dampak perubahan apapun terhadap kebijakan pemerintah dan masyarakat. Sebab, pada dasarnya permohonan pemohon merupakan suatu elemen yang sudah dilaksanakan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. “Permohonan pemohon tidak lebih daripada suatu penegasan dari suatu makna putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Karena itu, ketiadaan frasa ‘wajib dilaksanakan’ dalam pasal-pasal tersebut tidaklah dapat dimaknai bertentangan dengan UUD 1945,” tuturnya dalam sidang perkara Nomor 105PUU-XIV/2016 tersebut.
Selain itu, menurut Pemerintah uji konstitusionalitas norma tentang kewajiban melaksanakan putusan MK yang dimohonkan Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI) tersebut seharusnya tidak dapat diterima. Harwanti menjelaskan tidak ada kerugian konstitusional pemohon sebagai advokat dengan adanya aturan yang diujikan.. “Pemerintah memandang bahwa kerugian secara langsung yang diderita pemohon tidak ada,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam permohonannya, pemohon yang merupakan advokat dan penasehat hukum merasa dirugikan dengan banyaknya Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non-executiable (tidak dapat dijalankan). Kerugian tersebut dialami pemohon lantaran memiliki tugas memberi pendampingan hukum, membela, memberi bantuan hukum berupa nasehat dan atau konsultasi hukum, mendampingi, mewakili dan atau membela serta memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.
Menurut para pemohon, tidak cukup apabila pelaksanaan putusan MK hanya berharap pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pihak manapun, baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya. Pemohon berpendapat Putusan MK harus dianggap sebagai putusan yang berlaku asas res judicata (putusan hakim harus dianggap benar), serta asas res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan).
Untuk itu, Pemohon meminta Frasa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” pada Pasal 47 UU MK harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan harus dilaksanakan oleh siapapun. Selain itu, Pemohon juga meminta Pasal 7 ayat (2) huruf “l” UU Administrasi Pemerintahan harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan hanya diberikan kewajiban atas Putusan Tata Usaha Negara saja, akan tetapi juga bagi Putusan Mahkamah Konstitusi.
(Lulu Anjarsari/lul)