DPR menilai aturan proses minutasi dalam KUHAP seperti yang diuji oleh para advokat tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi III DPR Junimart Girsang dalam sidang uji materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (9/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Ia menyampaikan terkait kerugian yang didalilkan Pemohon berupa keterlambatan imbalan jasa atau success fee dan membuka peluang korupsi, DPR menilai pasal a quo tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon. Menurutnya, tidak ada korelasi antara norma yang diujikan, baik secara konstitusionalitas norma maupun penerapannya, dengan kerugian yang didalilkan oleh Pemohon.
“Hal tersebut tidak ada relevansinya dan tidak ada hubungan sebab-akibat antara lamanya waktu proses minutasi dengan berlakunya syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal a quo karena selama ini Mahkamah Agung telah melakukan berbagai agenda percepatan penyelesaian perkara. Di antaranya, memperbarui sistem percepatan minutasi perkara dengan membuat pola putusan singkat,” paparnya dalam sidang perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016 di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Junimart menjelaskan Mahkamah Agung masih mempertahankan berlakunya SK KMA Nomor 214 Tahun 2014 tentang Alur Penanganan Perkara di Mahkamah Agung Dalam Menentukan Jangka Waktu Dalam Penanganan Perkara Maksimal 8 Bulan Atau 250 Hari. Khusus proses minutasi memakan waktu 3 bulan sejak diputuskan.
“Tidak hanya itu, Mahkamah Agung juga meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung untuk memperketat pengawasan kepada panitera pengganti dan operator juru ketik ketika melakukan proses minutasi,” tuturnya.
Sedangkan, terhadap petitum pemohon yang meminta MK menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai Surat Putusan Pemidanaan pada pengadilan negeri, Junimart menilai hal itu tidak tepat. Ketentuan tersebut merupakan perumusan norma undang-undang yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. “Sehingga lebih tepat Pemohon mengajukan permohonan perubahan undang-undang atau kepada DPR RI sebagai lembaga yang diberi kewenangan membentuk undang-undang bersama pemerintah,” paparnya.
Constitutional Complaint
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili Rorogo Zega menilai permasalahan yang diujikan pemohon merupakan constitutional complaint, bukan judicial review atau constitutional review. Dengan demikian, MK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara constitutional complaint. “Adalah tepat jika Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.” terangnya.
Sementara terkait subtansi permohonan, Zega menyebut pasal yang diuji secara normatif mengatur isi surat putusan pemidanaan yang secara substansi memberikan dasar hukum untuk hakim membuat isi putusan pemidanaan. Sehingga, lanjutnya, pasal tersebut merupakan kewenangan hakim. “Pasal a quo sama sekali tidak mengatur kepentingan advokat, hak dan kewajiban pemohon yang mendalilkan dirinya sebagai advokat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 21,” ujarnya.
Dalam sidang perdana, pemohon merasa keberatan dengan berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang syarat materi yang terdapat dalam surat putusan pemidanaan. Menurut para pemohon, syarat materi tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap jangka waktu penyelesaian sebuah perkara mengingat banyaknya materi yang harus dicantumkan. Apalagi Mahkamah Agung menerapkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP pada setiap tingkatan peradilan, termasuk tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
Pemohon menjelaskan dampak langsung yang dirasakan adalah tidak dapat memberikan pelayanan jasa hukum secara efektif dan efisien kepada masyarakat pencari keadilan dan dianggap tidak profesional karena tidak dapat memberikan informasi/kepastian kepada klien kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung.
(Lulu Anjarsari/lul)