Mekanisme pengisian jabatan untuk wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Tetapi pasal tersebut hanya mengatur pengisian jabatan apabila wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Hal tersebut yang mendasari Alif Nugraha dan tujuh orang rekannya yang mengaku memiliki hak pilih dalam pilkada mengajukan uji materiil UU Pilkada. Sidang perbaikan permohonan perkara Nomor 110/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Kamis (5/1) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi.
M. Jodi Santoso selaku kuasa hukum pemohon memaparkan pokok-pokok perbaikan, di antaranya memperkuat dalil permohonan dan kedudukan hukumnya. “Pengisian kekosongan jabatan wakil yang disebabkan oleh naiknya wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati, dan walikota tidak diatur secara eksplisit dalam rumusan pasal a quo. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum,” ungkap Jodi kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Menurut Jodi, mekanisme pemilihan wakil gubernur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebenarnya sudah ada sejak UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang. “Oleh karena itu dibutuhkan dasar hukum untuk memberikan kepastian hukum dalam pengisian jabatan dalam hal wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota,” tegas Jodi.
Dalam sidang perdana, pemohon mengajukan uji materi Pasal 176 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Para pemohon tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran tidak ada kejelasan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah yang kosong karena wakil kepala daerah tersebut naik menjadi kepala daerah.
Pasal 176 UU Pilkada hanya mengatur mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah apabila yang bersangkutan meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Ketentuan tersebut tidak mengatur mekanisme pengisian wakil kepala daerah apabila yang bersangkutan menjadi kepala daerah karena kepala daerah meninggal dunia, berhenti atas permintaan sendiri, atau diberhentikan. Sehingga, apabila hal tersebut terjadi, Pemohon berpendapat jabatan wakil kepala daerah akan menjadi kosong.
Sebagai pemilih dalam pemilihan kepala daerah, Pemohon merasa tidak mendapatkan kepastian hukum ketika terdapat kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Seandainya pun kekosongan jabatan tersebut diisi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari partai politik pengusung, Pemohon khawatir parpol pengusung belum tentu memiliki kesamaan visi dan misi dengan wakil kepala daerah yang menjadi kepala daerah.
Pemohon menilai, pengisian jabatan wakil kepala daerah mengalami proses yang sangat panjang, berbelit-belit dan terjadi kegaduhan politik sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berakibat pemerintahan berjalan tidak efektif yang tentunya hal ini sangat merugikan warga masing-masing daerah termasuk Pemohon.
(Nano Tresna Arfana/lul)