Alif Nugraha dan tujuh orang rekannya yang mengaku sebagai pemilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) mengajukan uji materiil Pasal 176 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), Kamis (15/12). Para pemohon tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran tidak ada kejelasan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah yang kosong karena wakil kepala daerah tersebut naik menjadi kepala daerah.
Pasal 176 UU Pilkada hanya mengatur mekanisme pengisian jabatan wakil kepala daerah apabila yang bersangkutan meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Ketentuan tersebut tidak mengatur mekanisme pengisian wakil kepala daerah apabila yang bersangkutan menjadi kepala daerah karena kepala daerah meninggal dunia, berhenti atas permintaan sendiri, atau diberhentikan. Sehingga, apabila hal tersebut terjadi, Pemohon berpendapat jabatan wakil kepala daerah akan menjadi kosong.
Sebagai pemilih dalam pemilihan kepala daerah, Pemohon merasa tidak mendapatkan kepastian hukum ketika terdapat kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Seandainya pun kekosongan jabatan tersebut diisi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari partai politik pengusung, Pemohon khawatir parpol pengusung belum tentu memiliki kesamaan visi dan misi dengan wakil kepala daerah yang menjadi kepala daerah.
“Pemohon menilai, pengisian jabatan wakil kepala daerah mengalami proses yang sangat panjang, berbelit-belit dan terjadi kegaduhan politik sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berakibat pemerintahan berjalan tidak efektif yang tentunya hal ini sangat merugikan warga masing-masing daerah termasuk Pemohon,” ujar Kuasa Pemohon M. Jodi Santoso dalam sidang perdana perkara Nomor 110/PUU-XIV/2016 tersebut.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon agar mempertajam pokok-pokok permohonannya. “Saya kira coba dipertajam betul di-posita (pokok permohonan)-nya ya. Kalau kita baca di-posita-nya tidak mengarah kepada petitum,” ungkap Wahiduddin.
Sementara, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti batu uji yang digunakan Pemohon, yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Hanya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang Saudara ajukan sebagai dasar pengujian. Apakah ada di pasal-pasal lain yang menyangkut hak konstitusionalnya yang menurut argumentasi Saudara tadi yang dirugikan itu? apakah cukup di Pasal 28D ayat (1) itu saja?” tanya Manahan.
Selain itu Manahan menyarankan Pemohon agar menguraikan lagi kedudukan hukumnya dalam permohonan. “Ditegaskan atas kepentingan apa dia untuk dipilih. Saya kalau melihat dari situ tadi, kepentingannya sebagai pemilih. Namun ini harus ditegaskan juga dalam permohonan ini. Supaya nanti relevan dia, apakah kepentingan dia sebagai pemilih atau kepentingan dia untuk dipilih sebagai wakil. Itu perlu juga ditegaskan dalam permohonan ini,” ujar Manahan.
(Nano Tresna Arfana/lul)