Seorang dokter asal Papua yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Sterren Silas Samberi, mengajukan permohonan pengujian aturan mengenai sanksi bagi PNS yang memalsukan data-data administrasi. Aturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sidang perdana perkara dengan Nomor 111/PUU-XIV/2016 itu digelar Kamis (15/12) di Ruang Sidang MK. Sidang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 9 UU Tipikor. Pasal 9 UU tipikor menyebut, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”.
Dengan pasal tersebut, pemohon yang menjadi Plt. Direktur Rumah Sakit Agats Kabupaten Asmat terkena hukuman pidana 2 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atas tuduhan tindak pidana korupsi yaitu menggunakan uang sebesar Rp 630.616.395 untuk kepentingan sendiri dan memperkaya diri sendiri.
Menurut pemohon, ia dituduh telah melakukan pemalsuan terkait data-data adminsitratif, padahal hal itu tidak terjadi. Ia mencontohkan harus membawa pasien ke RS yang memiliki dokter spesialis, namun PELNI tidak mengeluarkan tiket sehingga ia membuat data perjalanan tanpa adanya bukti. “Akibatnya, yang terjadi adalah kami membuat tiket tersebut. Sebenarnya bukan palsu, Yang Mulia, perjalanannya ada. Tetapi karena keterbatasan,” ujarnya.
Untuk itu, pemohon meminta agar majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk menyatakan Pasal 9 UU Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai semua pemalsuan (tanpa memedulikan kerugian yang ditimbulkan, dan/atau memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara).
Nasihat Hakim
Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Aswanto dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar pemohon memaparkan mengenai kerugian konstitusional, bukan kasus konkret yang dialaminya. Sebab, MK tidak mempunyai kewenangan mengadili kasus konkret. “Kerugian yang Saudara alami tadi itu yang diceritakan seperti itu, kalau ceritanya adalah kisah nyata yang demikian, itu tidak digolongkan sebagai kerugian hak konstitusional. Oleh karena itu, permohonan ini harus diperbaiki,” sarannya.
Sedangkan Suhartoyo meminta agar Pemohon memperbaiki petitum-nya. Menurutnya, jika Pasal 9 UU Tipikor dimaknai ‘merugikan keuangan negara’ akan berdampak tidak dapat menjerat para pelaku tindak pidana korupsi yang memang dengan sengaja membuat data administrasi fiktif. Untuk itu, pemohon diminta memperbaiki petitum-nya agar tidak mengorbankan aturan tersebut.
Pemohon pun diberi waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Sidang selanjutnya akan digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan.
(Lulu Anjarsari/lul)