Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Pansus RUU Penyelenggara Pemilu) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan konsultasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dan para hakim konstitusi lainnya di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK, Rabu (14/12).
“Kunjungan kami dalam rangka konsultasi guna mendapat masukan dan pandangan sekaligus untuk mengetahui secara luas original intent dari semua putusan MK tentang kepemiluan. Hal ini akan dijadikan bahan sebagai proses penyempurnaan pembahasan tentang penyelenggaraan pemilu,” kata Lukman Edi Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu saat membuka pembicaraan.
Sebelumnya, pemilu presiden dan wakil presiden maupun pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilakukan secara terpisah. Namun berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU/XI/2013, pemilu dilakukan serentak pada 2019. Menindaklanjuti putusan MK tersebut, DPR memandang perlu adanya upaya penguatan regulasi sebagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu secara serentak. Oleh karena itu, Pansus RUU Penyelenggara Pemilu pun menyiapkan sejumlah pertanyaan terkait putusan MK mengenai pemilu.
“Kami sudah melakukan rekap terhadap semua putusan MK tentang kepemiluan. Misalnya ada tujuh putusan MK tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian tiga putusan MK terkait pengujian tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD. Lalu ada putusan MK berkenaan dengan Penyelenggara Pemilu. Selain itu, kami menginginkan penjelasan MK secara luas tentang sengketa hasil pemilihan. Hal ini mengenai Pemilu Ambang Batas Pencalonan Presiden,” ujar Lukman.
Ketua MK Arief Hidayat menjelaskan bahwa ia maupun para Hakim Konstitusi lainnya sudah mempelajari secara cermat mengenai materi maupun pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan Pansus RUU Penyelenggara Pemilu. Namun, Arief mengaku kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. “Karena itu semua (pertanyaan, red) menjadi potensi untuk dilakukan judicial review. Sehingga kalau sekarang kami sudah mulai berpendapat, dikhawatirkan apakah itu sudah merupakan pendapat Mahkamah atau pendapat pribadi hakim? Berarti itu sudah mengikat kita,” imbuh Arief yang juga didampingi Sekjen MK M. Guntur Hamzah, Panitera MK Kasianur Sidauruk dan pejabat MK lainnya.
Padahal secara etik, sambung Arief, terhadap hal-hal yang menjadi potensial judicial review, Hakim Konstitusi tidak boleh memberikan pendapat. Arief mengakui selama ini banyak pihak termasuk pers yang ingin hakim konstitusi berkomentar tentang hal terbaru maupun terkait putusan MK.
“Namun kami sangat menjaga betul muruah dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang bekerja dengan putusannya, bukan dengan komentar-komentar yang bisa membuat gaduh di masyarakat,” ucap Arief.
Kemudian mengenai hal yang merupakan open legal policy terkait penyelenggaraan Pemilu, Arief menyatakan semua diserahkan sepenuhnya kepada pihak Pansus RUU Penyelenggara Pemilu.
(Nano Tresna Arfana/lul)